Dasar-Dasar Ilmu Semantik (Sebuah Resume)

 

Dasar-Dasar Ilmu Semantik (Sebuah Resume)



a.       Judul Buku            : Dasar-Dasar Ilmu Semantik

b.      Pengarang             : Drs. Suhardi, M.Pd.

c.       Penerbit                 : Ar-Ruzz Media

d.      Tahun Terbit         : 2015

e.       Halaman                : 208 Halaman

 

Buku ini telah memberikan sumbangan keilmuan yang begitu besar dampaknya bagi perkembangan ranag linguistic. Buku ini menjelaskan konsep dasar ilmu semantic dengan lugas dan dapat dicerna dengan baik, juga disertai dengan contoh penerapannya terhadap ilmu linguistic. Dengan adanya buku ini, peminat linguistic mampu menyelam lebih dalam, serta mengupas tuntas data dan analisis semantic.

BAB I

SEMANTIK

1.      Defenisi Semantik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 805), "Semantik adalah ilmu tentang makna kata, pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata-kata". Dengan kata lain, Semantik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang makna kata dan perubahannya. Selanjutnya, Ronnie Cann (1994:1) menyatakan “Semantics is the study of meaning and linguistic semantics is the study of meaning as expressed by the word, phrases, and sentence.” Pandangan yang dikemukakan oleh Cann lebih menekankan Semantik sebagai objek kajian yang berkaitan dengan ilmu makna dan ilmu bahasa dalam hubungannya dengan makna kata, frasa, serta kalimat.

Tarigan (2009: 7) menyatakan bahwa Semantik dapat dikelompokkan atas dua kelompok, semantik deskriptif, yaitu telaah empiris terhadap bahasa-bahasa alamiah dan semantik murni, yaitu telaah analisis terhadap bahasa-bahasa buatan. Berdasarkan beberapa rujukan tersebut maka dapatlah disimpulkan bahwa Semantik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang makna kata, frasa, dan kalimat. Menurut Lyon (1995:393), semantik adalah ilmu yang berkaitan dengan makna tanda. Tanda yang dimaksud Lyon adalah tanda-tanda yang berkaitan dengan bahasa. 

2. Beberapa Teori Semantik

Teori-teori yang lahir berkaitan dengan makna dilatarbelakangi keinginan para filsuf dan linguis untuk melihat hubungan antara bahasa (ujaran), pikiran, dan realitas. Teori teori tersebut di antaranya (a) Teori Referensial atau Korespondensi (b) Teori Kontekstual, (c) Teori Mentalisme atau Konseptual, dan (d) Teori Pemakaian (Parera, 2002: 45). Teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Teori Referensial

Teori Referensial adalah teori yang menyatakan hubungan antara reference, referent, dan symbol. Sebagaimana yang dikemukakan Ogden and Richard dalam bentuk segitiga sama sisi. Menurut teori ini, makna adalah sesuatu yang terbentuk dari hasil hubungan antara reference dengan referent sehingga membentuk simbol bunyi bahasa (berupa: kata, frase, dan kalimat).

b. Teori Kontekstual

Teori Kontekstual pertama kali diperkenalkan oleh J.R. Firth pada 1930. Firth mewariskan pikiran tentang konteks situasi dalam analisis makna. Menurut Firth, makna sebuah kata terikat dengan lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Sebuah kata atau simbol ujaran tidak memiliki makna jika ia terlepas dari konteksnya. Teori Kontekstual ini lebih mengisyaratkan pentingnya konteks situasi dalam analisis makna.

c. Teori Mentalisme

Pertama kali diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui studi sinkronisnya dan membedakan analisis bahasa atas La parole, La languange, dan La lengage. Saussure mencoba menghubungkan antara bahasa lahiriah (La parole) dengan citra mental penuturnya (La langue).

d. Teori Pemakaian

Teori Pemakaian dari makna pertama kali diperkenalkan Wittgenstein seorang filsuf Jerman (1830-1858). Menurut Wittgenstein, kata tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks. Sebab, konteks selalu berubah dari waktu ke waktu. Makna tidak akan mantap jika digunakan diluar pemakaiannya. Makna sebuah ujaran sangat ditentukan oleh pemakaiannya oleh masyarakat bahasa.

4. Efektivitas Komunikasi (Berbahasa)

Keefektifan sebuah komunikasi sangatlah ditentukan oleh sejauh mana komunikator maupun pihak komunikan memahami dan menguasai berbagai aras bahasa yang ada. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Parera (2002: 9), “Sebuah komunikasi akan berhasil dengan baik jika antara pembicara dan pendengar menguasai aras bahasa yang ada.”

          Istilah aras makna pertama kali diperkenalkan oleh J.D. Parera dalam bukunya Teori Semantik. Parera menggunakan istilah ini sebetulnya untuk menunjukkan identitasnya dan perbedaannya sebagai seorang tokoh linguistik dengan tokoh linguistik yang lain. Menurut Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia (2009: 34) kata aras mengandung makna had, paras, takat; mengaras adalah mencapai, mencecah, menjejak, menyentuh, dan sampai ke. Selanjutnya, aras makna juga dapat diterjemahkan paras makna atau batas-batas makna, Adapun beberapa aras makna yang diperkenalkan Parera (2002) meliputi (a) Aras Makna Linguistik, (b) Aras Makna Proposisi, (c) Aras Makna Pragmatik, dan (d) Aras Makna Kontekstual. Berikut penjelasannya:

a) Aras Makna Linguistik

Adalah aras makna yang berkaitan dengan makna leksikal dan makna struktural. Istilah leksikal dan gramatikal sebetulnya lebih fokus pada penempatan kata, yaitu penempatan kata sebelum kata tersebut ditempatkan di dalam kalimat atau sesudah kata tersebut ditempatkan di dalam kalimat. Semua makna kata yang telah ditempatkan dalam kamus merupakan makna leksikal. Sementara makna baru yang timbul setelah kata tersebut ditempatkan di dalam kalimat merupakan makna gramatikal atau makna yang timbul akibat proses ketatabahasaan. Perbedaan kedua aspek tersebut dapat dilihat sebagaimana contoh berikut ini:

Contoh 1:

Kata dapat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 1990) memiliki kesinoniman makna dengan kata bisa, sanggup, dan mampu. Dengan demikian, secara leksikal kata dapat sama artinya dengan kata bisa, sanggup, dan mampu. Makna yang terkandung di dalam kamus inilah yang disebut dengan makna leksikal.

Contoh 2:

            Secara gramatikal, kalimat "Andi dapat mengerjakan soal matematika itu” tidaklah sama maknanya dengan kalimat "Andi mampu mengerjakan soal matematika itu”. Kata dapat dalam kalimat pertama mengandung makna hanya sekadar dapat saja, akan tetapi belum dijamin apa yang dikerjakan Andi itu memang betul. Namun, berbeda tentunya dengan kata mampu mengerjakan soal matematika itu, hasilnya jelas apa yang dikerjakan tersebut pastilah telah betul. Kata dapat dan kata mampu walaupun secara leksikal memiliki arti yang sama akan tetapi secara gramatikal ternyata memiliki makna yang berbeda.

b) Aras Makna Proposisi

Aras makna proposisi atau aras logika adalah aras makna yang lebih memfokuskan kajiannya pada aspek logis atau tidak logisnya sebuah kalimat dituturkan oleh penuturnya. Istilah lainnya adalah masuk akal atau tidak. Contohnya:

a. Tikus itu berhasil mengikat kucing yang garang itu. (tak logis)

b. Kerja keras yang telah dilakukan Pak Amir, akhirnya membawa hasil yang memuaskan. (logis)

c. Kedai Bu Susi selalu ramai pengunjung, karena Beliau selalu ramah melayani pembeli (logis)

c) Aras Makna Pragmatik

Aras makna pragmatik adalah aras makna yang lebih memfokuskan diri pada aspek tujuan dan fungsi sebuah komunikasi dilakukan. Ahli bahasa yang pertama memperkenalkan dan sangat gigih menyuarakan aras makna pragmatik tersebut adalah George Yule dan Geoffrey Leech.

Dari aspek tujuan, komunikasi dapat dilakukan untuk menyampaikan informasi (kalimat berita), untuk menanyakan sesuatu untuk memperoleh jawaban yang dibutuhkan (kalimat tanya), agar orang lain melakukan sesuatu sesuai yang diinginkan (kalimat perintah), dan sebagainya. Sementara berdasarkan aspek fungsi, komunikasi dapat saja dilakukan sebagai alat untuk menjalin hubungan keakraban antarsesama, sebagai alat untuk bercanda atau bergurau dengan seseorang yang telah memiliki hubungan dekat, sebagai alat untuk menyampaikan informasi, dan sebagai alat untuk memahami informasi yang disampaikan orang lain kepada kita. Contohnya:

a. Ali pergi ke mana?

b. Siapakah yang mau mengambilkan saya segelas air?

c. Masihkah kita meragukan akan kebesaran Allah?

Kalimat (a) (b), dan (c) tersebut bila dilihat dari aspek pragmatik, yaitu dari aspek tujuan dan fungsinya mengandung beberapa makna. Kalimat (a) dari aspek tujuan merupakan kalimat yang membutuhkan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Dari aspek fungsi, kalimat (a) berfungsi sebagai alat untuk bertanya. Kalimat (b) dilihat dari aspek tujuannya adalah kalimat perintah walaupun bentuk penyampaiannya seperti kalimat tanya. Kalimat tersebut tidak membutuhkan jawaban sebab yang lebih diinginkan adalah tindakan, eksekusi, atau action nya. Sementara dilihat dari aspek fungsinya, kalimat (b) tersebut berfungsi sebagai alat agar orang lain melakukan sesuatu yang diperintahkan.

          Kalimat (c) dilihat dari aspek tujuannya adalah kalimat penegasan. Kalimat yang berisi meyakinkan lawan bicara tentang Allah dan hasil akhir yang diharapkan adalah lawan bicara bertambah keyakinannya tentang keberadaan Allah. Adapun dilihat dari aspek fungsinya kalimat (c) berfungsi sebagai alat untuk meyakinkan atau membuat orang lain lebih yakin tentang keberadaan Allah.

          d) Aras Makna Kontekstual

Aras makna kontekstual adalah kajian makna bahasa yang menyatakan bahwa makna sebuah kalimat atau tuturan sangat ditentukan pada proses keberlangsungan atau kesamaan pengetahuan antara komunikator (pembicara) dengan komunikan (pendengar). Kesamaan pengetahuan tersebut dapat juga berupa kesamaan latar belakang sosial, budaya, atau kesamaan pengalaman. Contohnya, seorang ibu berkata, “Wow! buruk sekali anakmu ini, gemas saya melihatnya.” Sang ibu yang menggendong bayi tersebut hanya membalas dengan senyuman, ia tidak marah. Si ibu itu dapat menerima ucapan tersebut karena ia memiliki kesamaan pengetahuan sosial-budaya yang sama dengan si pembicara. Kata buruk tersebut mengandung makna pujian bukan sebaliknya.

BAB II

SEMANTIK DAN SEMIOTIK

1. Semantik dan Semiotik

Adalah dua istilah yang memiliki persamaan dan perbedaan makna. Persamaan kedua bidang ilmu bahasa tersebut adalah sama-sama menjadikan makna sebagai objek kajiannya. Sementara perbedaannya, Semantik lebih fokus mengkaji tentang makna kata, sementara Semiotik lebih fokus melakukan kajiannya pada makna yang berkaitan dengan simbol, tanda, atau lambang.

Objek kajian Semiotik, seperti kajian tentang makna rambu-rambu lalu lintas (jalan mendaki, menurun, berbelok, berkerikil, licin, dilarang berhenti, dilarang masuk, dan seterusnya.) makna cahaya yang dipancarkan oleh sebuah trafic light (merah, kuning, dan hijau), dan makna-makna yang terdapat pada lambang-lambang bendera partai. Istilah Semiotik pertama kali dikemukakan Charles Morris. Moris menyebut Semiotik dengan ilmu isyarat. Berbeda dengan Semantik yang lebih memfokuskan dirinya pada makna-makna bahasa, seperti makna leksikal, struktural, proposisi, pragmatik, dan makna kontekstual (Parera, 2004: 9).

2. Semiotik

 Sign, signal dan symbol adalah tiga indikator makna yang dikemukakan oleh Charles Morris (Parera, 2002: 2). Menurut Morris, sign adalah substitusi yang memerlukan sebuah interpretasi, seperti mobil kebakaran, bel rumah, lampu merah, dan jamaah Jumat. Signal adalah stimulus pengganti dari sign, seperti bunyi sirine mobil kebakaran, bunyi bel pintu adalah stimulus bahwa di luar ada tamu; lampu merah adalah stimulus agar pengendara berhenti, bunyi sirine di saat bulan puasa dari Masjid adalah tanda telah masuk waktu imsak. Sementara symbol adalah makna dari signal itu sendiri, seperti: sirine mobil kebakaran adalah simbol bahwa ada kebakaran, bunyi bel rumah adalah simbol bahwa rumah kedatangan tamu, lampu merah adalah simbol untuk harus berhenti.

BAB III

BEBERAPA JENIS MAKNA

1. Jenis Makna

Wijana dan Rosmadi (2008: 13) mengelompokkan jenis makna atas 8 jenis, yaitu (a) makna leksikal dan gramatikal; (b) makna denotatif dan konotatif; (c) makna literal dan makna figuratif; (d) makna primer dan makna sekunder.

a) Makna leksikal dan gramatikal

Menurut Wijana dan Rosmadi (2008:13), makna leksikal adalah makna leksem yang terbentuk tanpa menggabungkan leksem tersebut dengan unsur lain. Contohnya kata baca, buku, dan piring.

Wijana dan Rosmadi (2008: 14), mendefinisikan, makna gramatikal adalah makna yang terbentuk setelah leksem tersebut mendapatkan afiks (imbuhan). Contohnya kata sebuah, terdiri dari leksem buah dan unsur lain (afiks se-). Dengan demikian, bila kata sebuah ditempatkan dalam kalimat: "Ali memiliki sebuah pena" maka kata sebuah mengandung makna satu pena atau satu jenis pena. Contoh lainnya adalah, membaca, terbaca, dibacakan, membacakan, dan lain-lain.

b) Makna Denotatif dan Konotatif

Makna denotatif adalah makna kata apa adanya atau makna kata sesungguhnya. Oleh sebab itu, dalam penulisan karya ilmiah dan jurnal ilmiah makna denotatif lebih diutamakan karena lebih menekankan pada aspek fakta (bukan hasil kontemplasi imajinasi penulis atau data fiktif). Tujuannya adalah agar hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Contohnya, kata rakyat mengandung makna warga negara, masyarakat, atau penduduk.

Makna konotatif dapat dikatakan makna yang timbul dari data-data yang nonfakta. Oleh sebab itulah, makna konotatif lebih banyak digunakan dalam penulisan karya sastra, seperti cerpen, puisi, novel, maupun drama. Makna konotatif dapat juga diartikan sebagai makna yang tidak sesungguhnya (makna kiasan) atau makna kata yang timbul dari hasil kontemplasi penulis atau pengarang dengan imajinasinya.

c) Makna Literal dan Figuratif        

Kata literal menurut Sugono dalam bukunya Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia (2009: 35) mengandung makna harfiah, langsung, lurus, prosais, verbatim. Makna literal sering juga disebut makna harfiah, atau makna yang mengacu pada referennya. Contohnya, Ayam Andi telah bertelur. Kata ayam pada kalimat tersebut bermakna literal, ayam adalah sejenis hewan berkaki dua, lebih besar daripada burung, sering dipelihara masyarakat, dan tidak bisa terbang tinggi.

          Makna figuratif adalah makna yang tidak sesuai dengan referennya lagi. Contohnya, bunga uang di dalam hukum agama termasuk riba. Kata bunga uang mengandung makna orang yang memberikan pinjaman uang kepada orang lain dengan cara mengambil untung besar.

d) Makna Primer dan Makna Sekunder

          Istilah makna primer dan sekunder pertama kali dikemukakan Larson (1988). Adapun yang dimaksud makna primer adalah makna awal yang muncul dalam pikiran dan cenderung situasi fisik. Makna primer dapat juga dikatakan sebagai makna kebahasaan yang dapat diidentifikasikan tanpa bantuan konteks pemakaian bahasa. Ada tiga jenis makna yang termasuk makna primer, yaitu makna leksikal, denotatif, dan makna literal. Makna sekunder dapat dikatakan sebagai makna kedua. Makna yang dapat digolongkan sebagai makna sekunder antara lain makna gramatikal, makna konotatif, dan makna figuratif.

BAB IV

GEJALA BAHASA

1. Kesinoniman

Muliono (1990: 845) mengatakan, kesinoniman adalah hubungan antar kata-kata yang bersinonim. Sebuah kata dikatakan memiliki kesinoniman bila memiliki makna yang sama, walaupun memiliki bentuk yang berbeda. Kata cantik, elok, indah, ayu, anggun merupakan deret kata yang memiliki makna sama atau memiliki hubungan kesinoniman yang kuat.

2. Kehomoniman

Kehomoniman adalah proses pembentukan homonim itu sendiri. Afiks ke-an pada kata kehomoniman di sini jelas berfungsi membentuk kata benda homonim. Kata dapat, sendi, sila, dan maha merupakan berntuk kata kehomoniman. Bentuk-bentuk kata homonim juga dapat dikelompokkan atas beberapa jenis, yaitu homofon, homograf, dan heteronim (Ilyas, 1987: 450).

Adapun yang dimaksud homofon adalah kata yang dilafalkan sama, tetapi memiliki bentuk seperti tulisan yang berbeda dan memiliki makna yang berbeda pula. Contohnya, kata bang dan bank yang diucapkan sama akan tetapi ditulis berbeda dan memiliki makna yang berbeda pula. Kata bang memiliki makna abang (panggilan untuk kakak) sementara kata bank memiliki makna suatu lembaga keuangan yang biasanya mengurus simpan pinjam.

Sementara itu, yang dimaksud homograf adalah kata yang memiliki bentuk dan ucapan yang sama, tetapi memiliki makna berbeda. Contohnya, kata beruang diucapkan sama, bentuk tulisannya juga sama, tetapi memiliki makna berbeda. Kata beruang dapat bermakna binatang buas (Beruang), atau sebutan pada orang yang memiliki banyak uang.

Selanjutnya, yang dimaksud heteronim adalah suatu kata yang memiliki bentuk sama akan tetapi memiliki ucapan dan makna berbeda. Adapun contoh dari heteronim tersebut dapat dilihat sebagai berikut: Kata apel dapat bermakna sejenis buah (apel) dan dapat pula bermaka berkumpul untuk melakukan upacara dan proses absensi.

3. Keantoniman.

Antonim adalah suatu kata yang memiliki bentuk berbeda dan memiliki makna juga berbeda. Antonim sering disebut juga lawan kata. Lebih lanjut Tarigan (2009: 36) mengklasifikasikan antonim atas beberapa pasangan, yaitu (1) pasangan komplementer, (2) pasangan perbandingan, (3) pasangan relasional, dan (4) pasangan resiprokal. Masing-masing bentuk tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Antonim Pasangan Komplementer.

Antonim pasangan komplementer adalah pasangan antonim yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Contohnya:

a. Jahat - tidak baik

b. Baik - tidak jahat

2) Pasangan Perbandingan (Gradabel).

Antonim pasangan perbandingan (gradabel adalah antonim yang menyatakan bahwa kelebihan sesuatu merupakan kekurangan yang lain. Contohnya:

a. Lebih besar - kurang kecil

b. Lebih tinggi - kurang rendah

3) Pasangan Relasional.

Antonim pasangan relasional adalah sejenis antonim yang melihat kesimetrian makna anggota pasangannya. Antara anggota pasangan antonim itu terdapat hubungan yang erat. Contohnya, penuduh-tertuduh.

4) Pasangan Resiprokal.

Antonim pasangan resiprokal adalah sejenis antonim yang mengandung pasangan berlawanan atau bertentangan dalam makna, tetapi juga secara fungsional berhubungan erat. Hubungan tersebut justru berhubungan timbal balik. Contohnya, penjual-pembeli.

4. Kepolisemian

Polisemi adalah kata-kata yang mengandung makna ganda tetapi makna yang dibentuk tersebut masih memiliki hubungan dengan makna semula. Proses pembentukan polisemi dari sebuah kata menjadi polisemi tersebutlah yang dimaksud kepolisemian. Contohnya kata kepala yang merupakan bagian teratas tubuh dapat dibentuk menjadi polisemi kepala keluarga dan kepala suku.

 5. Kehiponiman

Adapun yang dimaksud hiponim atau hiponimi adalah suatu kata yang maknanya sudah terwakili oleh makna yang lebih luas (superordinat). Contohnya:

a. Hiponim bunga mencakup mawar, melati, kenanga, dan sebagainya.

b. Hiponim keluarga mencakup kakek, nenek, ayah, ibu, kakak, dan adik.

BAB V

MEDAN DAN KOMPONEN MAKNA

1. Medan Makna

Medan makna adalah lingkungan, ruang lingkup, lokasi, atau daerah makna. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah medan makna tidak sama dengan medan asosiatif. Kata hitam menurut medan asosiatif memiliki makna jahat, gelap, kotor, dan sebagainya. Sementara itu, menurut medan makna, kata hitam bermakna sesuatu yang tidak terang atau gelap. Berdasarkan contoh tersebut, jelas bahwa medan makna dan medan asosiasi memiliki perbedaan. Medan asosiatif sangat dibutuhkan dalam penelitian psikolinguistik, sementara medan makna lebih dibutuhkan dalam penelitian sosiolinguistik.

2. Komponen Makna

Analisis komponen makna kata adalah analisis penemuan kandungan makna kata atau komposisi makna kata. Proses tersebut dapat dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut:

a. Pilih seperangkat kata yang diperkirakan berhubungan

b. Temukan analogi-analogi di antara seperangkat kata tersebut;

c. Buatlah ciri-ciri komponen semantik atas dasar analogi analogi yang telah diajukan.

Manfaat analisis komponen makna kata pada analisis adalah sebagai berikut:

1.      Memberikan jawaban mengapa beberapa kalimat benar, mengapa beberapa kalimat lain tidak benar, dan mengapa beberapa kalimat bersifat anomali.

2.      Untuk meramal hubungan antara makna, yaitu kesinoniman, keantoniman, keberbalikan, dan kehiponiman.

BAB VI

PERGESERAN DAN PERUBAHAN MAKNA

1.      Pergeseran Makna

Adalah gejala perluasan, penyempitan, pengonotasian (konotasi), penyinestesian (sinestesia), dan pengasosiasian sebuah makna kata yang masih hidup dalam satu medan makna. Dalam pergeseran makna, rujukan awal tidak berubah atau diganti tetapi rujukan awal mengalami perluasan rujukan atau penyempitan rujukan (Parera, 2002: 10).    

Contohnya kata bapak, ibu, dan saudara. Dahulu, kata bapak digunakan untuk menyapa orangtua laki-laki kita. Begitu juga kata ibu adalah sapaan untuk orangtua perempuan. Akan tetapi, kata tersebut sekarang telah mengalami pergeseran makna. Kata bapak dan ibu dapat digunakan pada orang lain walaupun tidak memiliki hubungan kekeluargaan.

2. Perubahan Makna

Perubahan makna adalah gejala pergantian rujukan dari simbol bunyi yang sama. Ini berarti dalam konsep perubahan makna terjadi pergantian rujukan yang berbeda dengan rujukan semula.

3. Jenis Jenis Perubahan Makna

a) Perubahan Makna dari Bahasa Daerah ke Bahasa Indonesia

Sebuah kata di dalam bahasa daerah awalnya bermakna negatif (tabu) kemudian masuk ke dalam Bahasa Indonesia menjadi bermakna biasa (umum). Contohnya, kata momok dalam bahasa Sunda bermakna alat kelamin perempuan, dalam bahasa Indonesia bermakna hantu.

b) Perubahan Makna Akibat Lingkungan.

Sebuah kata akan mengalami makna yang berbeda-beda sesuai dengan lingkungan penuturnya. Contoh: kata cetak bagi orang persuratkabaran bermakna proses penerbitan. Bagi lingkungan olahraga, seperti sepak bola, kata cetak bermakna proses pengegolan bola ke gawang lawan.

c) Perubahan Makna Akibat Pertukaran Indra Tanggapan (Sinestesia)

   Contohnya seperti, suaranya sedap didengar.

d) Perubahan Makna Akibat Gabungan Kata

    Contohnya adalah:

    1) Surat kabar - koran

    2) Surat kaleng - tanpa identitas

e) Perubahan Makna Akibat Tanggapan Pemakai Bahasa (Amelioratif dan Peyorati)

Amelioratif adalah kata yang cenderung bermakna positif, contohnya kata juara dulu bermakna kepala penyabung ayam, kini bermakna pemenang (positif). Sedangkan peyoratif adalah kata yang bermakna cenderung negatif. Contohnya, kata amplop dahulu bermakna sampul surat, kini bermakna uang sogok (negatif).

f) Perubahan Makna Akibat Asosiasi

Menurut Djajasudarma (2009: 84), "Asosiasi adalah hubungan antara makna asli (makna di dalam lingkungan tempat tumbuh semula yang bersangkutan) dengan makna yang baru (makna di dalam lingkungan tempat kata itu dipindahkan ke dalam pemakaian bahasa)". Contohnya kata teh telor bermakna sejenis minuman panas yang terbuat dari teh, telor, dan gula serta air panas.

3. Penyebab Terjadinya Pergeseran dan Perubahan Makna

Antonie Miller (dalam Parera, 2002: 108-110) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran dan perubahan makna, diantaranya adalah rus globalisasi (masuknya kosakata asing) dan tingkat pendidikan masyarakat yang semakin baik sehingga mereka banyak mengenal kosakata baru.

Selain itu, Djajasudarma (1993: 87-91) menyatakan bahwa sebab-sebab terjadinya perubahan dan pergeseran makna adalah sebagai berikut:

a)      Hubungan Sintagmatik

Adanya satuan leksikal yang mengalami perubahan arti akibat kekeliruan dalam pemenggalan mortem mortemnya. Contoh kata pramugari (berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata pra dan mugari (pelayan rumah) akan tetapi telah terjadi kesalahan pemenggalan morfem morfemnya menjadi pramu dan gari (analogi yang salah). Kesalahan pemenggalan morfem-morfem kata tersebut menyebabkan lahir analogi-analogi baru (salah), seperti: pramu+niaga, pramu wisma, pramu wisata, dan seterusnya.

b)      Adanya Kerumpangan dalam Kosakata

Kerumpangan tersebut menurut Djajasudarma (1993: 88) adalah kekurangan bentuk suatu kata-kata dalam mengungkapkan suatu konsep tertentu. Penyempitan makna, seperti kata pesawat yang bermakna alat atau mesin, tetapi di kalangan penerbang, maknanya menyempit menjadi pesawat terbang.

c)      Adanya Proses Konotasi

Proses konotasi adalah proses tautan pikiran yang menyertai makna kognitif, sangat tergantung pada pembicara, pendengar, dan situasi (keadaan, peristiwa, proses) yang melingkupinya (Djajasudarma, 2009: 89). Contoh: Kata uang pesangon merupakan penghalusan dari kata uang pengusir.

d)      Peristiwa Sinestesia

Adalah proses perubahan makna yang terjadi akibat pertukaran tanggapan indra, seperti kata pengalaman pahit yang merupakan penggabungan indra perasa (pengalaman) dengan indra pengecap (lidah).

BAB VII

MAKNA DAN PROSES GRAMATIKAL

1. Makna dan Kata

Makna dan kata merupakan dua aspek yang tak dapat dilepaskan kehadirannya dalam komunikasi. Sebab, mungkin kita menyampaikan sesuatu tanpa kata. Begitu juga tidak mungkin suatu kata itu berdiri sendiri tanpa diiringi makna.

Dari sudut pandang makna, kalimat merupakan urutan kata-kata yang mengandung makna (STA, 1983:72). Urutan kata-kata yang berbeda, melahirkan makna yang berbeda pula. Contohnya:

1. Dijamin tidak ubanan.

2. Ubanan tidak dijamin.

3. Tidak dijamin ubanan.

Kalimat (1), (2), dan (3) tersebut disusun atas kata-kata yang sama, hanya saja letaknya yang berbeda. Perbedaaan letak kata-kata tersebut ternyata menyebabkan makna yang berbeda pula.

a. Makna dan Kalimat

Berdasarkan kalimat (1) Dijamin tidak ubanan, (2) Ubanan tidak dijamin, dan (3) Tidak ubanan dijamin menunjukkan bahwa makna kalimat tidak hanya ditentukan oleh jumlah unsur-unsur pembentuknya, tetapi juga oleh runtutan unsur unsur pembentukannya. Bertolak dari asumsi inilah para ahli linguistik. mengklasifikasikan makna kalimat atas dua, yaitu makna leksikal dan makna struktural gramatikal. Pendekatan yang digunakan untuk menemukan keduanya disebut semantik kombinatarial (Parera, 2008: 92).

b. Hubungan Sintagmatik

Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang berfungsi untuk menguji unsur-unsur leksikal pembentukan makna struktural sebuah kalimat. Jika posisi kata dipertukarkan letaknya menyebabkan terjadinya perubahan makna maka dapat dikatakan bahwa kalimat tersebut mengandung makna struktural.

c. Kata dan Frase dalam Konteks Makna

Menurut Parera (2008: 95), untuk menyusun satu kaidah makna gramatikal frase teramalkan maka perlu ditelaah secara mendalam dan meluas hubungan sintagmatik dan paradigmatik antarunsur pembentuknya. Menurut Parera (2008), makna gramatikal frase teramalkan pada umumnya terdiri dari dua unsur pembentuknya. Jika unsur pembentuk frase itu terdiri dari 3 atau lebih unsur pembentuknya maka teknik penemuan makna gramatikal yang dipakai adalah teknik Immediate Constituents (ICs) atau teknik Unsur Bawahan Langsung.

d. Immediate Constituen (ICs)

Teknik ICs dipakai untuk konstruksi yang terdiri dari dua atau lebih unsur pembentuknya. Untuk dapat melakukan satu penggalan dengan baik diperlukan beberapa kriteria sebagai berikut:

1. Pada mulanya sebuah konstruksi (dua atau tiga unsur pembentuknya dipenggal atas dua konstituen;

2. Kriteria kohesi internal: tingkat atau derajat runtunan konstituen berfungsi sebagai satu kesatuan

3. Kriteria perbedaan internal kriteria ini mengutamakan kemungkinan substitusi secara maksimal;

4. Kriteria kebebasan: setiap unsur pembentuk bebas dalam distribusi

5. Kriteria sendi;

6. Kriteria kemudahan/kesederhanaan (Parera, 2008: 96).

BAB VIII

KELOGISAN BERBAHASA

1. Definisi Kelogisan Berbahasa

Adapun yang dimaksud dengan kelogisan berbahasa adalah keberterimaan sebuah bahasa menurut akal pikiran awan bicara secara sehat. Parera (2002: 186) mendefinisikan kelogisan dengan dapat diterima akal/masuk akal. Parera memberikan contoh yaitu, ia sering datang terlambat. Kata sering tidak dapat diukur, dapat diterjemahkan 2 kali, 3 kali, 4 kali, dan seterusnya. Parera mengatakan bahwa kata sering tidak jelas ukurannya. Kalimat ini, menurut Parera tidak masuk akal (tidak logis).

2. Logika dalam Berbahasa

Berkaitan dengan unsur logis dan tidak logis, Parera (2004: 187) mengajukan beberapa syarat sebuah bahasa termasuk logis, sebagai berikut:

a. Logika berbahasa harus memenuhi runtun berpikir yang sistematis dan memenuhi kaidah-kaidah logika;

b. Logika berbahasa harus memenuhi hubungan antara konsep-konsep yang ditautkan;

c. Logika berbahasa tidak boleh menimbulkan kontradiksi.

Berpikir logis berarti berpikir analitis. Kalimat analitis adalah kalimat yang membutuhkan kebenaran sebagai akibat dari sense kata-kata yang terdapat di dalamnya. Contoh: gajah itu adalah binatang.

3. Kalimat Analisis dan Sintesis

Kalimat analitis adalah kalimat yang di dalamnya mengandung kebenaran umum dan berlaku di mana-mana. Sementara itu, kalimat sintesis adalah kalimat yang kebenarannya berdasarkan hasil observasi dan pengamatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PSIKOLINGUISTIK   PENGERTIAN Secara etimologis, istilah psikolingustik berasal dari dua kata yaitu, Psikologi dan Linguistik. Kedua kata...