MAKALAH
FENOMENOLOGI
“Di Buat Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada
Mata
Kuliah Filsafat Ilmu”
DOSEN:
Dr. Mhd. Nur, M.S
Dr. Hasanuddin, M. Si
OLEH: KELOMPOK VII
SAPRI YANTO (1221215026)
RENGKI AFRIA (1221215027)
PROGRAM STUDI LINGUISTIC KEBUDAYAAN
PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS
(UNAND) PADANG
TAHUN AKADEMIK 2012-2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DARTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.1.
Latar Belakang Masalah
1.1.2.
Rumusan Masalah
1.1.3. Tujuan
Penulisan
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Fenomenologi
2.2. Relevansi
2.3. Riwayat
hidup Edmund Gustav Aibercht Husserl
BAB. III PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan
kehadiran Allah SWT. karena atas berkat rahmat dan kurnia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang fenomenologi. Penulis berharap dengan hadirnya
makalah ini dapat menambah wawasan bagi kita umumnya pembaca tentang sebuah
tiori atau aliran yang menyatakan ilmu pengetahuan timbul dari fenomenologi.
Makalah ini jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapakan masukan, kritik dan
saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi mahasiswa dan masyarakat.
Padang, November 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Istilah fenomena sudah menjadi sebuah
kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Namun yang menjadi pertanyaan,
apakah hanya sekedar kata yang sudah biasa di pakai atau hanya sebuah istilah
yang manjadi kata penghias dalam pembicaraan. atau hanya pengalaman panca indra
kita, yang kita ungkapkan kepada orang lain.. Menurut hemat penulis, sudah
sepantasnyalah jika kita berbicara mengenai fenomenologi, pasti tidak lepas
dari suatu terminologi “what is it?”(Apa itu?). Terdorong dari kemauan untuk
memahami secara lebih mendalam tentang apa itu fenomenologi. Pertanyaan inilah
yang selalu “terngiang-ngiang” dalam benak penulis, sehingga mengantarkan
kepada suatu pengertian yang mendalam mengenai konsep Fenomenologi Edmund
Husserl.
Perlu diketahui bahwa di sini penulis
hanya membahas beberapa hal dari kehidupan Edmund Husserl. Pertama, riwayat
hidupnya. Dalam mendalami pemikirannya, tentu lebih utama kita harus tahu
sedikit mengenai identitasnya. Siapa dia, berasal dari mana, bagaimana latar
belakang kehidupannya, dan sebagainya. Dua, karya atau
pemikiran utamanya. Untuk mengetahui pemikirannya, perlulah kita mengerti
terlebih dahulu tulisan-tulisan terpentingnya. Tiga, pikiran-pikiran
pokok. Tulisan ini difokuskan pada Pemikiran
Fenomenologi Menurut Edmund Husserl. Sebab ia tokoh pertama selaku
pendiri aliran ini. Ia mempengaruhi filsafat abad XX secara mendalam sampai pada
penemuan akan analisa struktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan
sebagaimana struktur ini terarah pada obyek real dan ideal. Bagi Husserl, Fenomenologi ialah
ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phenomena).
Fenomenologi dengan demikian, merupakan ilmu yang mempelajari, atau apa yang
menampakkan diri fenomenon. Karena itu, setiap penelitian atau
setiap karya yang membahas cara penampakkan dari apa saja, sudah merupakan
fenomenologi.
Secara material penulisan karya ini
memiliki tujuan yang mendasar, yaitu sebagai pembuka cakrawala pengetahuan
filsafat pada umumnya dan fenomenologi pada khususnya, mengingat pengetahuan
filsafat merupakan pengetahuan yang memerlukan energi yang cukup untuk
mempelajarinya, hingga mampu masuk ke “relung” terdalam dari ranah filsafat.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1. Pengertian
fenomenologi
1.2.2. Relevansi
1.2.3. Riwayat hidup Edmund Gustav Aibercht Husserl
dan kant
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk mengemukakan tiory fenomenoligi dalam ilmu pengetahuan dan
melengkapi tugas mata kulyah filsafat ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Fenomenologi
Kata
fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu
yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia
biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu
pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut
dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan
fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri. Seorang Fenomenolog suka melihat gejala
Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya
dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung.
Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”.
Lahirnya aliran psikologi Fenomenologi sangat
dipengaruhi oleh filsafat Fenomenologi. Tokoh filsafat fenomenologi yang
terkenal adalah Edmund Husserl (1859-1938). Bagi seorang fenomenolog, kisah
seorang individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun
aksioma. Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang
tidak dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga
disebut objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog
cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari
dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan
kesadaran hidup.
Pendekatan fenomenologis memusatkan perhatian pada
pengalaman subyektif. Pendekatan ini berhubungan dengan pandangan pribadi
mengenai dunia dan penafsiran mengenai berbagai kejadian yang dihadapinya.
Pendekatan tersebut mencoba memahami kejadian fenomenal yang dialami individu
tanpa adanya beban prakonsepsi. Pendekatan fenomenologis meliputi yaitu
:
1. Pengamatan ,
yaitu suatu replika dari benda di luar manusia yang intrapsikis, dibentuk
berdasar rangsang-rangsang dari obyek.
2. Imajinasi ,
yaitu suatu perbuatan (act) yang melihat suatu obyek yang absen atau sama
sekali tidak ada melalui suatu isi psikis atau fisik yang tidak memberikan
dirinya sebagai diri melainkan sebagai representasi dari hal yang lain. Dunia
imajinasi berdasa aktivitas suatu kesadaran.
3. Berpikir secara
abstrak. Bidang yang sangat penting dalam hidup psikis manusia ialah pikiran
abstrak. Aristoteles berpendapat bahwa pikiran abstrak berdasarkan pengamataan
; tak ada hal yang dapat dipikirkan yang tidak dulu menjadi bahan. Dengan
menghilangkan ciri-ciri khas (abstraksi) terjadi kumpulan ciri-ciri umum, yaitu
suatu ide yang dapat dirumuskan dalam suatu defenisi.
4. Merasa/menghayati.
Merasa ialah gejala lain dari kesadaran mengalami. Pengalaman tidak disadari
dengan langsung, sedangkan perasaan biasanya disadari. Merasa ialah gejala yang
lebih dekat pada diri manusia daripada pengamatan atau imajinasi.
Seperti
yang telah disebutkan di awal, bahwa sebagai sebuah aliran, fenomenologi
diartikan sebagai: yang menampakkan dirinya di dalam dirinya sendiri menurut
adanya. Dengan demikian, fenomenologi adalah merupakan refleksi mengenai
pengalaman langsung dari setiap tindakan secara intensif, yang berhubungan
obyek. Tidak cukup sampai di situ, fenomenologi ini juga menolak penggunaan
kerangka teori sebagai langkah untuk melakukan kajian ataupun penelitian,
karena akan menjadikan hasil kajian atau penelitian menjadi artifisial
dan jauh dari sifat-sifat naturalnya. Hal demikianlah yang menjadikan
fenomenologi ini berbeda dengan aliran-aliran filsat yang lain. Dan justeru
karena ini pula, Penulis sangat setuju dengan aliran fenomenologi yang berusaha
memberikan kesempatan suatu obyek untuk “berbicara sendiri”.
Alasan
lainnya adalah bahwa, fenomenologi banyak digunakan oleh para pemikir-pemikir
di abad modern ini. Seperti misalnya Hasan Hanafi yang menggunakan pendekatan
fenomenologi ini untuk menganalisis realitas masyarakat, politik, ekonomi,
realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat. Hasan Hanafi sendiri
mengakui pentingnya menggunakan metode fenomenologi sebagai pilihan metodologi
yang tepat dalam menganalisis Islam alternatif di Mesir.
Apa
yang dikatakan Hassan Hanafi tersebut memang tidak salah, sebab kaitannya
dengan studi agama, pendekatan fenomenologi ini digunakan untuk memperoleh
gambaran yang lebih utuh dan yang lebih fundamental tentang fenomena
keberagamaan manusia untuk memperoleh “essensi” keberagamaan manusia serta
struktur fundamental dari keberagamaan manusia secara umum (universal,
transendental dan inklusif), dan bukannya gambaran keberagamaan manusia secara partikular-eksklusif.
Kaitannya
dengan fenomenologi agama Scheler, Penulis berpendapat bahwa pendekatan
fenomenologi hendaknya berusaha mengembalikan studi agama secara adil dalam
menatap dan memahami kompleksitas keberagamaan manusia. Hal ini dikarenakan
pendekatan fenomenologi bersifat value-laden, yakni terikat oleh
nilai-nilai keagamaan yang dipercayai dan dimiliki oleh para pengikut agama
yang ada.
Menurut
hemat Penulis, pada umumnya pengetahuan keagamaan bersumber dari sabda,
karya dan perjuangan, serta kewibawaan sang pendiri atau para pendiri agama
tersebut dihadapan Allah sebagai diakui dan diterima dengan ikhlas, bahkan pada
tingkat percaya dan yakin, oleh umat pemeluk agama itu. Rumusan umum ini
pastilah harus diberi kualifikasi yang lebih tepat dalam konteks agama
tertentu; namun ada beberapa hal yang harus dicatat atau garis bawahi.
Pertama, diandaikan kehadiran Allah sebagai
Sang Penjamin dan Sang Pembenar setiap sabda, karya perjuangan sang pendiri
atau para pendiri agama tersebut. Dalam persepsi umat agama itu Allah
pastilah “aktor intelektual” dibalik setiap sabda dan karya itu, karena Allah
memang memiliki rencana atau kehendak tertentu kepada umat-Nya. Fakta itu
harus dihormati. Namun dalam paradigma ilmu sebagai hasil usaha ilmiah
(yang rasional yang bersifat logis, sistematis dan efisien menuju kepada
kebenaran ilmiah), Allah dapat saja dimasukkan dalam katagori obyek studi atau
obyek yang harus dikenali dalam usaha rasional untuk memperkaya (yaitu
mengembangkan, meneguhkan dan memurnikan) khazanah pengetahuan keagamaan agama
yang bersangkutan. Dalam konteks ini juga harus diterima bahwa ada
lembaga “fatwa” dengan “kuasa untuk mengajar” dalam lingkungan agama
tersebut. Dapat saja hasil usaha rasional ilmuwan pengetahuan itu konflik
dengan “fatwa” pada saat itu; jika itu terjadi ... tidak banyak yang dapat
dikatakan. Mengenai kejujuran ilmiah dan ketulusan hati, hanya Allah yang maha
tahu. Mengaca dari sejarah, ternyata ada ilmuwan yang memang lahir dan
hidup seakan mendahului jamannya.
Kedua, harus diterima juga bahwa ada
unsur-unsur (misalnya “peristiwa”, yaitu yang melibatkan unsur tempat dan waktu
di masa lalu) dalam obyek yang dikenali (sekurang-kurangnya sekarang ini)
bersifat supranatural. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad (dalam tradisi
Islam) dan peristiwa kebangkitan Yesus dari mati (dalam tradisi Kristiani)
pantas dimasukkan dalam katagori itu. Historisitasnya dapat saja dikaji secara
ilmiah, demikian juga kepastiannya. Namun dalam hal ini jangan berharap
memperoleh kebenaran ontologis melalui refleksi rasional, sekarang atau di masa
depan, karena kebenaran logis pada akhirnya hanya berasal dalam kewibawaan
dokumen (termasuk juga kewibawaan Pemberi Dokumen).
2.2. Relevansi
Pada milenium
ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik secara langsung (kita
sadari) maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena yang “masih panas” dan
menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam media masa; salah satunya
tentang “global warming”. Adapun fenomena yang baru saja kita alami
yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat melihat fenomena-fenomena
alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta ini. Fenomena alam yang
tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya
saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di Aceh.
Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan ketidakpuasan manusia
akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan
hidup.
Menurut hemat
penulis, baik global warming maupun fenomena-fenomena alam
lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk
diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Misalnya, menumpuknya sampah di
TPA Spiturang. Siapa yang percaya bahwa pemulung yang sering mengais-ngais
sampah itu sebenarnya orang kaya. Rupanya dibalik semuanya itu ada
fenomena-fenomena yang mau disampaikan. Dalam hal ini, sebaiknya janganlah kita
melihatnya hanya sebatas mata melihat/apa yang tampak pada mata kita, tetapi
sebenarnya ada fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu yaitu pemulung di
TPA Spiturang adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakan orang kaya.
Dalam tulisan
ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di sini; supaya dalam melihat,
merasakan (mengalami) setiap fenomena-fenomena dalam hidup, selalu bertitik
berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita perlu kembali kepada
benda-benda itu sendiri. Jelas bahwa yang dimaksud ialah membiarkan obyek-obyek
itu menampilkan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian kita akan menjadi
“pewaris” pemikiran Husserl dan juga kita akan dibawa kepada suatu referensi
yang mendalam dari luasnya panorama-panorama fenomenologi dewasa ini. Sedangkan
bagi masyarakat pada umumnya. Semoga dengan memandang fenomena dari dua sudut
yaitu melihat fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan
realitas di luar pikiran. Kemudian melihat fenomena dari sudut kesadaran kita,
karena selalu berada dalam kesadaran kita. Dengan demikian, dalam memandang
fenomena-fenomena harus melihat ‘penyaringan’ (ratio) terlebih dahulu sehingga
mendapatkan kesadaran yang murni.
2.3. Riwayat hidup Edmund Gustav
Aibercht Husserl
Fenomenologi sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh
bentuk seperti sekarang ini, pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund
Gustav Aibercht Husserl, lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di
Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga yahudi. Di universitas ia belajar
ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian
juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia
mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen
sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di
Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan
metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh
murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di
Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku
dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia.
. BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Sebagai penutup
tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun masih jauh dari
sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya
menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach
den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).
Dengan pernyataan ini Husserl menghantar kita untuk memahami realitas itu apa
adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan
diri kepada kita. Namun sesungguhnya usaha kembali pada benda-benda itu
sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil
dalam keasadaran kita. Apa yang tampil kepada kita itulah yang disebut
fenomena.
Fenomenologi
secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara
bagaimana fenomena muncul pada kita. Karena kesadaran semestinya merupakan apa,
di mana segala sesuatu menyatakan dirinya dan fenomenologi adalah studi tentang
kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama.
Eksistensialisme
berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi lebih suatu metode filsafat
daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh
muridnya antara lain; M. Scheler dan Merleau-Ponty. Fenomenologi mengatakan
bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi.
Kenyataan tidak harus didekati dengan argumen-argumen, konsep-konsep dan teori
umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara
kepada kita kalau kita membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari
semua hal yang tidak hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah
dilepaskan, lalu semua hal yang ingin kita selidiki, mulai berbicara dan
“bahasa” ini dimengerti berkat intuisi kita. Oleh karena itu, metode
fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk epistemologi, psikologi,
antropologi, studi agama-agama dan etika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar