TUGAS SEMESTER
REVOLUSI
KANTIAN
“Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Semester Ganjil Pada
Mata
Kuliah Filsafat Ilmu”
DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Muhammad
Nur, M.S
OLEH
RENGKI AFRIA
NIM. 1221215027
PROGRAM STUDI LINGUISTIC KEBUDAYAAN
PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS
(UNAND) PADANG
TAHUN AKADEMIK 2012-2013
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT. karena atas berkat rahmat dan
kurnia-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas
Mandiri Pada Semester Ganjil ini tentang Revolusi Kantian. Penulis berharap
dengan hadirnya lembaran
ini dapat menambah wawasan bagi kita umumnya pembaca tentang sebuah tiori atau
aliran yang menyatakan ilmu pengetahuan timbul dari filsafat Immanuel Kant dalam Revolusi Kantian ini.
Tulisan ini jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu penulis sangat mengharapakan masukan, kritik dan saran dari
pembaca demi kesempurnaan penulisan
tugas ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan
masyarakat.
Padang, 6
Februari 2013
RENGKI AFRIA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. i
DARTAR ISI.............................................................................................
ii
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Rumusan Masalah
......................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan
........................................................................... 2
BAB II.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Immanuel Kant ................................................................ 3
B.
Revolusi Kantian ...........................................................................
8
1.
Kritik atas Rasio Murni............................................................
10
2.
Kritik Nalar Praktis..................................................................
15
3.
Kritik atas Putusan..........................
........................................ 17
BAB. III PENUTUP
A.
Kesimpulan
...............................................................;....................
19
B.
Saran
..............................................................................................
20
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait
dengan perihal kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam
kehidupan manusia, karena ia dapat menjadikan manusia untuk bersikap dan
bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi (actus Humanus) bukan asal bertindak sebagaimana yang biasa
dilakukan manusia (Actus Humanity).[1]
Mempelajari filsafat yunani berarti menyaksikan
kelahiran filsafat. Filsafat dilahirkan karena kemenangan akal atas dongeng-dongeng
atau mite-mite yang diterima dari agama, yang memberitahukan tentang asal mula
segala sesuatu, baik dunia maupun manusia. Akal manusia tidak puas dengan
keterangan dongeng-dongeng atau mite-mite itu, karena tidak dapat dibuktikan
oleh akal. Kebenarannya hanya dapat diterima oleh iman atau kepercayaan. Para
filsuf yang pertama adalah orang-orang yang mulai meragukan cerita mite-mite
dan mulai mencari-cari dengan akalnya dari mana asal alam semesta yang
menakjubkan itu. Sudah barang tentu kemenangan akal atas mite-mite itu tidak
mungkin terjadi dengan tiba-tiba. Kemenangan itu diperoleh secara
berangsur-angsur, berjalan hingga berabad-abad.
Pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung
turut memperkaya kehidupan kita.Sulit untuk dibayangkan bagaimana kehidupan
manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan
sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
Pengetahuan
berusaha mendampingkan antara aliran rasionalisme dan aliran empirisme.Aliran
rasionalisme mengemukakan bahwa sumber pengetahuan yang cukup dapat dipercaya
adalah rasio atau akal.Menurut faham rasionalisme hanya pengetahuan yang
diperoleh melalui akallah yang mutlak dan inilah yang dituntut oleh ilmu pengetahuan.
Sedangkan aliran empirisme berpendapat bahwa pengalamanlah yang merupakan
sumber ilmu pnegetahuan.Empirisme menganggap bahwa akal bukanlah sumber
pengetahuan tetapi mengolah pengalaman yang diperoleh.
Dalam
keadaan tersebut, muncullah seorang filosof yang hendak mendamaikan keduanya,
yaitu Immanuel Kant.Immanuel Kant memandang rasionalisme dan empirisme
senantiasa berat sebelah dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan.Ia mengatakan bahwa pengenalan manusia merupakan sintesis antara
unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori. Immanuel Kant tidak menentang
adanya akal murni.Ia hanya menunjukkan bahwa akal murni itu terbatas. Akal
murni menghasilkan pengetahuan tanpa dasar indrawi atau independen dari alat
panca indera.Pengetahuan indrawi tidak dapat menjangkau hakikat objek, tidak
sampai pada kebenaran umum.Adapun kebenaran umum harus bebas dri pengalaman,
artinya harus jelas dan pasti dengan sendirinya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan
dibahas penulis adalah:
- Biografi Immanuel Kant
- Revolusi Kantian
C.
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan tulisan ini
ialah:
- Untuk mengenal biografi Immanuel Kant dan karya-karyanya
- Untuk mengetahui Revolusi Kantian
- Untuk melengkapi tugas Mandiri pada semester ganjil pada mata kuliah filsafat ilmu, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Linguistik, Pasca Sarjana Universitas Andalas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI IMMANUEL KANT
Immanuel Kant lahir di Königsberg,
22 April
1724, dari pasangan Johan George
Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant.
Ayahnya kemudian dikenal sebagai ahli perdagangan, namun di
tahun 1730-1740, perdangangan di Königsberg mengalami kemerosotan. Hal ini
memengaruhi bisnis ayahnya dan membuat keluarga mereka hidup dalam kesulitan.
Ibunya meninggal saat Kant berumur
13 tahun, sedangkan ayah Kant meninggal saat dia berumur hampir 22 tahun.
Kant Memulai studinya di
Fredericianum Collegium, salah satu pusat pietisme Jerman termasyur, Kant
kemudian mendaftar di sekolah filsafat di Universitas Konigsberg, di mana dia
belajar filsafat rasionalistik Wolff serta matematika dan fisika Newton.
Setelah menamatkan studi di universitas tersebut Kant menghabiskan sembilan
tahun sebagai guru bagi beberapa keluarga terpandang sebelum kembali mengajar
di almamaternya ini.
Kembalinya Immnuel Kant ke Konigsberg pada tahun 1755
ditandai dengan terbitnya salah satu bukunya berjudul General Natural
History and Theory of Heavens, di mana ia membahas hipotesis bahwa sistem
tata surya sebenarnya bersumber pada materi asali nebulus. Setahun kemudian
Kant mulai mengajar di Universitas Konigsberg sampai tahun 1797. Tahun 1756
menandai pembaruan minat dalam penyelidikan filosofis. Dirangsang oleh
empirisme Hume dan naturalisme Rousseau, Kant mulai merencanakan revisi kritis
terhadap rasionalisme dogmatis Leibniz dan Wolff, pemikiran yang sangat
diakrabinya selama masa “tidur dogmatis”.
Seluruh keraguan yang menumpuk dalam pikiran Kant
menemukan ekspresinya dalam karya berjudul The Dreams of a Visionary
Illustrated with the Dreams of Metaphysics. Buku ini ditulis Kant pada
tahun 1766. Pandangan visioner yang didiskusikan Kant dalam buku ini terutama
berpusat pada karya Swedenborg, seorang metafisikawan Swedia yang waktu itu
ajarannya menjadi topik yang hangat didiskusikan. Diangkat menduduki kursi
Logika dan Metafisika di Universitas Konigsberg pada tahun 1779, resmilah Kant
menyelesaikan studinya dengan disertasi De Mundi sensibilis atque
intelligibilis formis et principiis, di mana untuk pertama kalinya dia
menunjukkan kecenderungan mengadopsi sistem independen filsafat.
Tidak sampai sepuluh tahun ketika periode “pra-kritis”
Kant berakhir. Pada tahun 1781 Kant muncul sebagai pelopor kritik transendental
dengan penerbitan karya Critique yang pertama. Demikianlah, dimulai
“periode kritis” yang bertahan sampai tahun 1794. Setelah beberapa publikasi
tentang agama yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Kekristenan tradisional,
Kant mentaati perintah Raja Frederick William II untuk tidak membicarakan masalah
agama dalam ajaran dan tulisan-tulisannya.
Pensiun dari mengajar karena usia dan sakit, Kant
menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya dengan mengedit ulang
karya-karyanya. Dia meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 28 Februari
1804.
Karya utama Kant selama periode kritis meliputi Critique
of Pure Reason, di mana dia menguji akal manusia dan menyimpulkan bahwa
manusia mampu membangun ilmu pengetahuan, dan bukan metafisika. Pada tahun 1783
ia menerbitkan Prolegomena atau Prologues to any Future Metaphysics,
di mana dia menguji hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Pada 1785
terbitlah karyanya berjudul Foundation for the Metaphysics of Ethics, di
mana ia mendiskusikan masalah moral berdasarkan prinsip-prinsip kritik
transendental. Dalam bukunya Critique of Judgment, ia menguji finalitas
dalam alam dan masalah estetika. Ketiga Critique inilah yang menjadi
maha karya serta eksposisi definitif pemikiran seorang Immanuel Kant.
Ia merupakan seorang filsuf Jerman. Karya Kant yang terpenting adalah Kritik der
Reinen Vernunft, 1781. Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan
manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia
menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan:
·
Apakah yang bisa kuketahui?
·
Apakah yang harus kulakukan?
·
Apakah yang bisa kuharapkan?
Pertanyaan
ini dijawab sebagai berikut:
- Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indera. Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide.
- Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
- Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan manusia.[2]
Kant juga
banyak mengutipkan beberapa kata-kata diantaranya adalah:
- Kebahagiaan bukan cita-cita akal tetapi imajinasi.
- Kematian dogma adalah kelahiran moralitas.
- Pencerahan adalah seseorang yang meninggalkan ketidakdewasaan yang ia sebabkan sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan menggunakan akal budi tanpa bimbingan orang lain.
- Melalui kemalasan dan sifat penakut, sebagian besar manusia, bahkan setelah dibebaskan dari bimbingan asing oleh alam, dengan senang hati tetap tidak dewasa.
- Tak seorangpun bisa menahan kemarahan tertentu ketika seseorang melihat tindakan manusia di panggung dunia yang besar dan menemukan bahwa, selain kebijaksanaan yang muncul di sini dan sana di antara orang-orang, semua yang besar merupakan tenunan dari kebodohan, kesombongan yang kekanak-kanakan, dan bahkan dari kedengkian dan kedestruktifan yang kekanak-kanakan.
- Sang pemilik pun juga seekor binatang, yang perlu seorang pemilik. [3]
Immanuel Kant (1724-1804)
adalah seorang filsuf yang paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat
modern yang seumur hidupnya tidak pernah meninggalkann kota kelahirannya di
Konigsbreg, Prusia Timur, Jerman. Tumbuh kembang dalam lingkungan keluarga yang
menganut Pietisme, sebuah gerakan dalam Protestantisms Jerman yang menekankan
kesalehan dan moralitas yang keras, Kant terkenal dengan kedisiplinan hidup
sehari-hari yang tanpa ampun. Latar belakang ini kelak akan mewarnai corak
filsafat Kant. Terutama dalam etika, Kant terkenal dengan ajarannya tentang
kewajiban atau imperatif.
Akan tetapi,
sumbangan terbesar Kant adalah usahanya untuk merekonsiliasi Rasionalisme dan
Empirisme. Dua aliran filsafat utama yang mendominasi filsafat Barat modern
sebelum Kant ini berpijak pada sumber pengetahuan yang saling berlawanan.
Sementara Rasionalisme—dengan tokoh utamanya Descartes (1596-1650) yang
terkenal dengan ungkapannya ‘cogito, ergo sum, akau berpikir, maka aku
ada’—menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio, Empirisme sebaliknya
menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman inderawi. Seorang tokoh
filsafat Empirisme, David Hume (1711-1776), menyebutkan bahwa semua hal yang
tidak bersifat inderawi hanya bisa diterima sebagai ‘kepercayaan’, bukan
‘pengetahuan’, sebab tidak bisa diperkirakan.
Usaha Kant untuk merekonsilasi Rasionalisme dan
Empirisme, antara unsur apriori dan aposteriori, terlihat
cukup berhasil, meski tidak berarti absen dari kritik. Gagasannya mengenai
hierarki proses pengetahuan, yang semakin atas—pada tingkat pengetahuan
intelektual—terlihat semakin abstrak, menimbulkan banyak polemik.
Dalam filsafat moralnya yang dikenal dengan etika deontologis, Kant juga
menerima kritik karena unsur kewajiban yang ditekankan di sana kurang mampu
menjawab persoalan jika terdapat benturan antara dua kewajiban atau lebih.
Pemikirannya mengenai kewajiban mengerjakan kewajiban karena kewajiban itu
sendiri juga terlihat terlalu abstrak, apalagi jika mengingat hadirnya faktor
nilai yang mendasari subjek.
Persis pada titik kontroversi inilah, filsafat Barat
modern pasca-Kant terbelah lagi ke dalam Idealisme dan Positivisme. Idealisme
berkembang di Jerman, memuncak pada GWF Hegel (1770-1831). Aliran ini pada
dasarnya meradikalkan unsur apriori pada filsafat kant dengan memberi
tempat yang sentral pada subjek. Pada Idealisme, seluruh realitas bersifat
subjektif, karena sepenuhnya didasarkan pada kesadaran subjek. Di sisi lain,
positivisme yang memuncak pada Auguste Comte (1798-1857) justru meradikalkan
unsur aposteriori pada filsafat Kant. Filsuf Prancis ini menekankan
pengalaman empiris sebagai sumber pengetahuan. Pada masanya, ilmu pengetahuan
alam dan teknik berkembang pesat, meminggirkan teologi dan metafisika. Setelah
Comte, sejarah filsafat Barat modern, yang berakar pada Pencerahan, dapat
dikatakan memasuki periode baru.[4]
Immanuel Kant (1724-1804) merupakan filsuf paling
berpengaruh dalam sejarah filsafat modern. Kant telah melakukan sesuatu yang
luarbiasa yaitu mensintesakan dua aliran filsafat yang berlawanan pada masanya,
yaitu Rasionalisme dan Empirisme melalui ”Revolusi Kopernikan”-nya. Dalam
perkembangan selanjutnya, sintesa Kant mendorong aliran-aliran filsafat
baru.Tulisan berikut akan menguraikan sintesa Kant terhadap Rasionalisme dan
Empirisme melalui Revolusi Kopernikan-nya serta kelahiran aliran-aliran
filsafat baru yang diilhami Kant.
Filsafat Kant (Idealisme) kemudian mempengaruhi
lahirnya aliran-aliran filsafat pasca Kant. Idealisme Kant pecah menjadi dua
aliran baru: Idealisme yang ”melanjutkan” pikiran Kant dan Positivisme
(Hamersma, 1983: 33). Idealisme yang melanjutkan Kant dikembangkan oleh Fichte,
Schelling dan Hegel pada zaman romantik. Idealisme yang menekankan unsur
kesadaran ini dikenal dengan sebutan Romantisisme. Dalam novel filsafatnya, Dunia
Sophie, Gaarder (2010: 533) menceritakan bahwa Kant telah menekankan
pentingnya sumbangan ego terhadap pengetahuan. Dampaknya, penganut Romantisisme
melakukan ”pemujaan ego” yang berlebihan, misalnya kejeniusan dalam kesenian
(Gaarder, 2010: 534).
Akan halnya Positivisme, aliran ini dipandang melanjutkan
skeptisisme Kant. Positivisme, yang dikembangkan Comte, meyakini bahwa
pengetahuan haruslah didasarkan pada gejala-gejala. Fakta-fakta yang bisa
dijadikan dasar pengetahuan adalah fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah.
Hakekat kenyataan menjadi tidak berarti. Untuk mengetahui apa yang akan
terjadi, manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan mencaritahu hubungan antar
gejala tersebut.Selanjutnya Hamersma (1983) menjelaskan bahwa filsafat Kant
juga mempengaruhi Neokantianisme yang berkembang sekitar tahun 1900-an.
Dari uraian di atas nampak jelas peran penting Kant
dalam mengawinkan Rasionalisme dan Empirisme, yang kemudian melahirkan
Idealisme melalui dobrakan ”Revolusi Kopernikan”. Filsafat Kant terbukti tidak
hanya berhasil melakukan sintesa, tapi juga mempengaruhi aliran-aliran baru
dalam fisafat pasca Kant.[5]
B.
REVOLUSI
KANTIAN
Ketegangan antara Rasionalisme dan Empirisme yang berlangsung selama
lebih dari satu setengah abad telah mengurangi rasa hormat kita, tidak hanya
kepada ajaran-ajaran filsafat tetapi juga kepada ilmu pengetahuan pada umumnya.
Rasionalisme gagal membangun transendensi Tuhan atas alam. Alih-alih
membuktikan trasendensi Tuhan atas alam semesta, rasionalisme justru terjerat
dalam panteisme implisit ala Descartes, Malabranca, Leibniz, dan panteisme
eksplisit Spinoza. Di lain pihak, empirisme pun gagal membuktikan eksistensi
alam yang diyakini sebagai yang berbeda dari pikiran. Empirisme justru
kehilangan jati dirinya dalam skeptisisme. Tidak bisa dipungkiri, kegagalan
rasionalisme dan empirisme adalah konsekuensi logis dari fenomenalisme yang
sebenarnya adalah fundasi dari rasionalisme dan empirisme itu sendiri, terutama
ajaran bahwa manusia tidak bisa mengetahui benda-benda (things) atau
realitas; bahwa yang diketahui manusia hanyalah penampakan (appearance)
di mana benda-benda atau kenyataan dihasilkan atau diproduksi dalam pikiran
manusia.
Pemikiran Immanuel Kant dan Kritisisme Kantian berusaha menyatukan rasionalisme dan
empirisisme dalam semacam fenomenalisme “baru” (fenomenalisme jenis unggul).
Bagi Kant, manusialah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a
priori formal, jiwa manusia mengatur data kasar pengalaman (pengindraan) dan
kemudian membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui kehendak yang
otonomlah jiwa membangun moralitas. Dan melalui perasaan (sentiment)
manusia menempatkan realitas dalam hubungannya dengan tujuan tertentu yang
hendak dicapai (finalitas) serta memahami semuanya secara inheren sebagai yang
memiliki tendensi kepada kesatuan (unity).
Berbagai contoh kegiatan manusia ini membentuk apa
yang disebut Kant sebagai “Revolusi Kopernican”. Gagasan seputar
Revolusi Kopernican ini dapat dirumuskan secara singkat berikut: Apa yang harus
diketahui manusia, apa yang harus dilakukan, dan apa yang harus percaya
menemukan pembenarannya bukan dalam realitas yang ada dalam dirinya (noumenon)
sebagaimana metafisika tradisional memahaminya, tetapi di dalam kemampuan
teoritis, praktis dan estetika manusia. Menurut Kant, pengetahuan tentang
bagaimana kemampuan-kemampuan ini berfungsi merupakan persiapan yang diperlukan
bagi semua metafisika semua (istilah “noumenon” susah diterjemahkan. Kata ini
dimaksud untuk menyebut apa yang Kant istilahkan sebagai “Ding-an sich”, yakni
hal dalam dirinya sendiri, atau obyek, sebagai lawan dari fenomena, pengaruh
atau efek subyektif yang dihasilkan oleh kesadaran kita).
Jika secara retrospeks Kritisisme Kantian
menandai persimpangan jalan dan sublimasi rasionalisme dan empirisme,
sebenarnya bisa dikatakan bahwa Kritisisme Kantian mengandung dalam dirinya
benih dari semua pemikiran filosofis berikutnya, termasuk filsafat kontemporer.
Dua gerakan filosofis utama abad lalu, yakni idealisme dan positivisme,
memiliki sumbernya dalam ajaran Kant.
Menolak sama sekali noumenon, idealisme mereduksikan
realitas kepada sekadar fenomena dari “ego” impersonal yang menampilkan
aktivitasnya secara dialektis. Positivisme, pada gilirannya, mereduksikan
realitas kepada sekadar fenomena dari materi. Idealisme dan positivisme
kemudian melahirkan eksistensialisme kontemporer, filsafat tanpa metafisika dan
dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan tentang dunia yang diselenggarakan
oleh daya-daya imanen. Sama seperti pendahulunya, eksistemsialisme tidak mampu
menawarkan jalan keluar definitif bagi masalah-masalah perennial filsafat.
1.
Kritik atas Rasio
Murni
Rasionalisme dan empirisisme mengambil alih
penyelesaian problem: “Nilai apa yang dikandung oleh pengetahuan (ide atau
impresi) yang aku dapatkan tentang dunia fisikal (material) dan hubungannya
dengan apa yang harus aku lakukan?” Pertanyaan ini mengandung sekaligus masalah
epistemologis dan etis. Untuk mengatasi kesulitan, rasionalisme—dari Descartes
sampai Leibniz—telah mulai dengan asumsi bahwa pikiran manusia dianugerahi
dengan ide-ide bawaan. Memulainya dengan melakukan deduksi dari ide-ide bawaan
ini, rasionalisme membangun pengetahuan yang dilengkapi dengan universalitas
(karena ide-ide bawaan bersifat umum bagi semua pikiran) dan sesuatu yang
dibutuhkan (kualitas yang harus dimiliki semua pengetahuan ilmiah dan
filsafat). Tetapi rasionalisme gagal menunjukkan keabsahan atau validitas jenis
pengetahuan ini dalam rujukannya kepada dunia alam tanpa jatuh ke panteisme.
Selanjutnya, dalam setiap pertimbangan mengenai Allah yang transenden, orde atau
susunan ide-ide tetap terpisah dan berbeda dari orde atau susunan benda-benda.
Di lain pihak, empirisme berusaha menjawab pertanyaan
yang sama dan memulainya dengan impresi inderawi. Dengan cara ini empirisme
mengklaim telah “menemukan” salinan atau kopi objek yang ditangkap melalui
impresi indrawi tersebut. Meskipun demikian, cara ini tidak mampu menunjukkan
aspek universalitas dari dan keniscayaan pengetahuan tersebut. Empirisme lupa
bahwa setiap persepsi, meskipun bersifat tak-terbatas (ad infinitum),
tetap saja partikular. Kritisisme semacam ini tentu telah terlebih dahulu
digagas dan dikemukakan David Hume dan tak-terbantahkan. Untuk menghindari
kesulitan sebagaimana dihadapi empirisme ini, Hume mengemukakan unsure
psikologis yang lain yang disebut sebagai kebiasaan mengasosiasi (the habit
of association) yang menghubungkan impresi yang satu dengan impresi lainnya
dan kemudian memberikan mereka unsur universalitas dan keniscayaan. Apakah
jalan keluar ini memuaskan? Harus diingat di sini, jika intelek bisa
menghubungkan fenomena yang satu dengan fenomena lainnya dan kemudian
menegaskan dimensi universalitas dan keniscayaan mereka, intelek semacam itu
tentu bukanlah “tabula rasa”. Intelek dengan kemampuan semacam ini pasti
memiliki konsep-konsep tertentu dalam dirinya (innate concept) mengenai
universalitas dan keniscayaan, yang kemudian mengatributkannya kepada fenomena
partikular ketika fenomena-fenomena itu dihubungkan satu sama lain dalam
kelompok atau kelas tertentu.
Lihatlah bahwa gagasan yang sangat tidak memuaskan
yang ditawarkan empirisme maupun jalan keluar yang disodorkan Hume
sungguh-sungguh “memaksa” Kant untuk memikirkan cara terbaik memahami
realitas. Kant tertantang untuk menemukan unsur objektif dan nilai etis dari
pengetahuan kita [dua pertanyaan penting yang dijawab Kant adalah (1) what can
I know? yang berhubungan dengan teori pengetahuan dan (2) what should I do?
yang berhubungan dengan masalah etika]. Dalam usahanya menawarkan sebuah solusi
yang konklusif, Kant menulis karya Critiques (disebut demikian karena
dimaksudkan untuk mengkritik dalam pengertian mendiskusikan dan menimbang).
Demikianlah, seluruh karya Immanuel Kant dapat sebut sebagai usaha serius
menguji secara saksama rasionalisme dan empirisme, tentu bukan untuk memberangus
sama sekali keduanya, tetapi untuk menemukan kelemahan-kelemahan mereka seraya
tetap mempertahankan hal-hal esensial dari keduanya.
Menurut Kant, rasionalisme termasuk jenis “putusan
analitis. Disebut demikian karena jenis putusan ini mengkonstruksi sebuah
sistem pengetahuan yang dilengkapi dengan aspek atau dimensi universalitas dan
keniscayaan, tetapi bagi Kant, jenis pengetahuan semacam ini bersifat
tautologis. Jenis pengetahuan ini tidak mampu membantu kita memahami realitas.
Pengetahuan jenis ini tentu tidak andal, karena itu pengetahuan harus maju
selangkah lagi, dan menurut Kant, pengetahuan harus bersifat “sintetis”. Yang
dimaksud adalah jenis pengetahuan yang predikatnya memperluas pengetahuan kita
mengenai subjek. Empirisme tentu bukanlah jenis putusan “sintetis”, tetapi
lebih merupakan putusan a posteriori, di mana predikatnya tidak lebih dari
fakta pengalaman, dan tentu saja mengakibatkan putusan ini kehilangan unsur
universalitas dan keniscayaannya. Jenis putusan apapun yang tidak memiliki unsur
universalitas dan keniscayaan tentu bukanlah jenis pengetahuan filosofis yang
cukup meyakinkan.
Kant mengajarkan bahwa ada jenis putusan lain yang
disebut putusan sintetis apriori. Bagi Kant, jenis putusan ini akan mengarah
kepada pengetahuan ilmiah yang benar. Jenis putusan ini disebut sintetis karena
memiliki karakter universalitas dan memenuhi criteria keniscayaan (necessity)
tanpa menjadi tautologis. Selain itu, jenis putusan ini pun memiliki fekunditas
putusan aposteriori tanpa dibatasi pada pengada tertentu yang ada di dunia
empiris. Syarat pembentukan setiap putusan sintetis apriori adalah perlunya
putusan memiliki forma (form) dan materi (matter). (1) Forma
diberikan oleh intelek, independen dari semua pengalaman, a priori, dan
menandakan fungsi, cara dan hukum mengetahui dan bertindak yang eksistensinya
mendahului seluruh pengalaman. (2) Materi tidak lain adalah sensasi subjektif
yang kita terima dari dunia luar.
Melalui kedua unsur inilah manfaat dari rasionalisme
dan empirisme dipersatukan dalam putusan yang sama: forma mewakili unsur
universal dan niscaya, sedangkan materi mewakili data empiris. Putusan yang
dihasilkan (sintetis apriori) adalah universal dan niscaya karena forma, dan
absah bagi dunia empiris karena materi. Perlu dicatat bahwa kedua elemen ini
harus ada dalam setiap pembentukan putusan sintetis apriori: forma tanpa materi
adalah hampa; materi tanpa bentuk adalah buta.
Jelas, pengetahuan diperoleh melalui putusan
apriorinya Kant adalah jenis pengetahuan yang memiliki hanya nilai fenomenal.
Jenis pengetahuan ini tidak memberikan pemahaman yang valid mengenai obyek “in
se” atau sebagaimana merekaa eksis di alam (noumena), tetapi hanya sejauh
mereka dipikirkan oleh subjek. Ego berpikir Kant tidak mengasimilasi
obyek, sebagaimana dipertahankan filsafat tradisional, tetapi konstruksinya.
Kenyataannya, baik materi dan bentuk (sensasi) adalah elemen subjektif dan
tidak memperlihatkan kenyataan; bahkan tetap terpisah dan berbeda dari subjek.
Kant menyajikan studinya mengenai putusan sintetis
apriori dalam Critique of Pure Reason. Karya ini dibagi menjadi tiga
bagian:
-
Dalam Transcendental
Aesthetic (Estetika Transendental), Kant menyelidiki unsur-unsur
pengetahuan yang masuk akal mengacu pada suatu bentuk apriori ruang dan waktu.
Objek penelitian ini adalah untuk membuktikan matematika sebagai ilmu yang
sempurna.
-
Karya Transcendental
Analytic (Analitika Transendental) adalah sebuah penyelidikan
ke dalam pengetahuan intelektual. Obyeknya adalah dunia fisik, dan ruang
lingkupnya adalah membuktikan “fisika murni” (mekanik) sebagai ilmu yang
sempurna.
-
Objek penelitian dari Transcendental
Dialectic (Dialektika Transendental) adalah realitas yang melampaui
pengalaman kita; yaitu esensi Allah, manusia dan dunia. Kant mereduksikan
objek-objek dari metafisika tradisional ini kepada “ide-ide,” yang tentangnya
berputar-putar secara sia-sia, tanpa harapan untuk bisa tiba pada sebuah hasil
yang pasti.
Dengan mengacu pada dunia eksternal, yang mengenainya
studi filsafat tradisional mempelajarinya secara khusus dalam kosmologi, Kant
mengatakan bahwa itu hilang dalam antinomi-antinomi, yaitu dalam proposisi
kontradiktoris, dan bahwa intelek tidak mampu membedakan manakah dari proposisi
yang bertentangan adalah benar. Antinomi-antinomi ini berjumlah empat, masing-masingnya
dibentuk dari sebuah tesis dan antitesis yang sesuai. Keempat antinomi tersebut
adalah berikut:
·
Tesis: Dunia harus memiliki awal dalam waktu dan tertutup dalam dalam ruang yang
terbatas. Antitesis: Dunia ini kekal dan tak-terbatas.
·
Tesis: Materi pada akhirnya dapat dibagi menjadi bagian-bagian sederhana (atom
atau monad-monad) yang pada dirinya tidak bisa lagi dibagi menjadi bagian yang
lebih kecil lagi. Antitesis: Setiap benda material dapat dibagi, bahwa
ada sesuatu yang sederhana yang sedang berada atau eksis di satu tempat
tertentu di dunia ini.
·
Tesis: Selain kausalitas yang sesuai dengan hukum alam (dan karena itu perlu),
ada kausalitas yang bebas. Antitesis: Tidak ada kebebasan; segala
sesuatu di dunia ini terjadi sepenuhnya sesuai hukum alam.
·
Tesis: Terdapat eksistensi pengada absolute tertentu yang perlu yang menjadi
bagian dari dunia, entah sebagai bagian atau sebagai penyebabnya. Antitesis:
Pengada absolute tertentu yang perlu itu tidak eksis, entah di dalam dunia ini
atau di luarnya.
Dengan demikian tesis-tesis tersebut hanya benar jika
mereka diafirmasi hanya dari sudut pandang numenal, sama halnya dengan
antitesis adalah benar jika mereka diafirmasi hanya dari sudut pandang
fenomenal. Demikianlah Kant menyimpulkan kritisismenya, membiarkan pintu
terbuka bagi afirmasi akan eksistensi roh dan Allah. Meskipun demikian, harus
dicatat bahwa kesimpulan semacam itu tidak dapat disebut sebagai pengetahuan
yang benar, karena tidak didasarkan pada intuisi apapun. Bagi Kant, intuisi
sendiri menyingkapkan asal-muasal pengetahuan sejati.
Akhirnya, mengacu pada gagasan tentang Allah, Kant
mereduksikan argumen yang oleh teologi rasional justru sangat ditonjolkan dalam
membuktikan eksistensi Allah berikut:
·
Argumen Ontologis (St. Anselmus, Descartes). Kant menyatakan bahwa pembuktian ini tidaklah
memadai bukan hanya karena Allah bukanlah objek intuisi, tetapi juga karena
peralihan dari dunia fenomenal (pemikiran) ke dunia numenal (realitas) tidaklah
sah.
·
Argumen kosmologis. Kant menyatakan bahwa argumen ini tidak memadai karena mendasarkan
dirinya pada prinsip kausalitas, dan bagi Kant, kausalitas adalah salah satu
kategori yang hanya berlaku dalam dunia pengalaman dan bukan untuk apa yang ada
di luar pengalaman.
·
Argumen teleologis. Argumen ini menunjukkan kepada kita bahwa di mana ada finalitas atau
tujuan di situ ada Intelijensi, yakni seorang perancang. Namun, seperti Kant
mengamatinya secara benar, argumen ini tidak menunjukkan Inteligensi itu
sebagai pengada yang paling sempurna, yaitu Allah.
Demikianlah, Critique of Pure Reason
menyimpulkan bahwa pengetahuan kita tidak mencapai realitas metafisik (numena).
Kant tidak menyangkal eksistensi Allah dan dunia eksternal. Dia juga tidak
menyangkal keabadian jiwa, tetapi ia mengatakan bahwa entitas-entitas semacam
itu tertutup bagi penyelidikan ilmiah. Penyelidikan ilmiah sendiri memiliki
dunia fenomenal sebagai objek, dan sama sekali tidak mampu menembus dunia
supra-fenomenal, yaitu dunia numena, yang tidak berkondisi. Menurut Kant,
Allah, dunia dan jiwa dapat dipahami melalui kegiatan lain, yakni rasio
praktis. Apakah yang dimaksud dengan rasio praktis?
2.
Kritik Nalar
Praktis
Dalam Kritik Atas Rasio Murni (Critique
of Pure Reason), Kant menjadikan unsur-unsur penting dari semua pengetahuan
(universalitas dan keniscayaan) tergantung (dependent), bukan pada isi
pengalaman, tetapi pada bentuk-bentuk apriori. Demikian juga dalam Kritis
Atas Rasio Praktis (Critique of Practical Reason), Kant membuat
universalitas dan hukum moral menjadi tergantung, bukan pada tindakan empiris
dan tujuan yang kita niatkan dalam tindakan kita, tetapi pada imperatif
kategoris, yakni dalam kehendak (will) itu sendiri. Sebuah tindakan akan
menjadi tindakan yang baik secara moral jika kehendak (will)
adalah otonom. Tindakan dilakukan bukan berdasarkan pertimbangan pada hasil
akhir yang akan dicapai tetapi hanya pada ketaatan pada kewajiban. “Kewajiban
demi kewajiban itu sendiri”: inilah rigiditas kewajiban moral Kantian. Ini
artinya di antara semua imperatif yang dapat menentukan kehendak (will)
dalam sebuah tindakan perlu membedakan yang hipotesis dari yang kategoris.
Menurut Critique of Pure Reason kita
tidak dapat mencapai realitas yang melampaui pengindraa (noumenon)
karena bentuk-bentuk pengetahuan kita (kategori-kategori) adalah kosong. Isi
dari kategori-kategori itu tidak bisa tidak bersifat fenomenal, hal yang
terkondisikan. Sebaliknya, bentuk-bentuk kehendak (imperatif kategoris)
memiliki isi yang sifatnya independen dalam dirinya, tidak dikondisikan oleh
unsur material. Adalah kehendak itu sendiri yang membuat tindakan manusia
bersifat baik secara moral, dan tidak sebaliknya. Bahkan, menurut Kant,
tindakan empiris akan baik hanya dengan syarat bahwa itu dilakukan demi
kewajiban. Demikianlah, kehendak tetaplah melampaui dunia fenomenal nan
mekanik. Kehendak adalah bagian dari dunia numenal, yakni yang
tidak-berkondisikan.
Begitu telah mencapai realitas yang melampaui
pengindraan (ingat baik-baik: melalui rasio praktis, dan bukan melalui rasio
kognitif), Kant memutuskan untuk menguji apa yang mungkin menjadi postulat
(kondisi yang niscaya) yang membuat moralitas menjadi mungkin. Dalam
investigasi ini Kant berpendapat bahwa ada tiga postulat yang membangun
moralitas, yaitu, kebebasan, keabadian jiwa, dan Allah.
Inilah tiga realitas tertinggi dari filsafat tradisional, dan Kant, yang telah
menyangkal kemampuan kita untuk mencapai mereka melalui pengetahuan teoritis,
percaya bahwa ia bisa menegaskan eksistensi mereka melalui akal budi praktis.
-
Pertama, Kant mengamati
bahwa kehendak bersifat independen dari semua daya pikat yang berasal dari
dunia fenomenal. Alasannya karena kehendak bersifat otonom. Kehendak tidak bisa
bersifat demikian jika dia ditentukan atau dikondisikan oleh mekanisme kausal.
Oleh karena itu, kehendak adalah bebas (postulat pertama).
-
Kedua, Kant mengamati
bahwa kebajikan adalah kebaikan tertinggi. Tapi keinginan (desire) kita
tidak akan sepenuhnya terpuaskan kecuali jika kebahagiaan selalu menjadi akibat
dari setiap kebajikan. Dalam dunia fenomenal ini, adalah mustahil mencapai
kebahagiaan melalui kebajikan. Dari fakta ini—bahwa kebahagiaan berada di
luar pencapaian dalam kehidupan sekarang—muncul keyakinan akan keabadian jiwa (postulat
kedua).
-
Ketiga, karena kita
yakin bahwa kebahagiaan mengikuti kebajikan tentu, keyakinan ini melahirkan
kepercayaan akan eksistensi Allah (postulat ketiga).
Demikianlah, Kant yakin bahwa dia tidak hanya telah
merekonstruksi dunia metafisika tradisional, tetapi juga yakin bahwa dirinya
telah meletakkan dasar yang lebih solid bagi metafisika, pendasaran metafisika
yang melampaui berbagai keraguan apa pun mengenainya. Bagi Kant, kehendak
memiliki keunggulan melampaui intelek.
3.
Kritik atas Putusan
Critique of Pure Reason dan Critique
of Practical Reason sama-sama membentuk dualisme—fenomena dan noumenon,
yakni yang dapat diinderai dan melampaui pengindraan, yang terkondisikan dan
tak-terkondisikan, keniscayaan mekanis dan kebebasan. Tidak ada filsafat lain
yang sanggup menyimpulkan dualism semacam itu, karena ego pada saat yang sama
adalah subjek baik bagi dunia teoritis maupun dunia praktis. Oleh karena itu
perlu bahwa kedua aspek—teoritis dan praktis—melaluinya realitas ditampakkan,
disintesakan dalam sebuah kesatuan yang berpusat pada ego.
Kant mempertahankan pandangan bahwa sintesis semacam
itu adalah mungkin melalui putusan atas perasaan (judgement of sentiment),
yakni studi yang mengenainya disajikan Kant dalam Kritik atas Putusan (Critique
of Judgment). Putusan atas perasaan janganlah dicampur aduk dengan putusan
sintetis a priori yang sudah didiskusikan dalam Critique of Pure Reason.
Hal yang terakhir ini mengandaikan suatu bentuk kosong atau forma kosong
intelek (kategori), yang ditentukan oleh elemen tertentu yang ditangkap melalui
pengindraan. Kant menyebut putusan sintetik a priori sebagai jenis putusan yang
penting (determining judgement), dan inilah yang kemudian pengetahuan
yang benar dan tepat yang dinamakan pengetahuan fenomenal.
Di lain pihak, putusan atas perasaan terbentuk dengan
merujuk objek yang dipahami kepada sebuah bentuk yang tidak ada dalam intelek,
tetapi dalam kekuatan afektif dari kehendak (emosi). Bentuk yang muncul dalam
sentimen adalah penengah antara yang teoritis dan yang praktis. Putusan atas
perasaan semacam ini adalah mungkin karena subjek (ego), dengan merefleksikan
data yang ditangkap, memutuskan data-data tersebut sebagai yang disesuaikan
dengan kegiatan-kegiatan merasa (sentimental activities) si subjek. Kant
menyebut kegiatan ini sebagai putusan hasil refleksi (reflecting judgment).
Perlu dicatat, putusan sebagai hasil refleksi ini memiliki asal muasal di luar
bentuk a priori intelek. Akibatnya, putusan semacam ini tidak memberikan kita
pengetahuan yang benar dan tepat, tapi hanya memanifestasikan kemendesakkan (exigency)
ego.
Dalam Kritik atas Putusan (Critique of Judgment), Kant
menyajikan hanya dua putusan sebagai hasil refleksi (reflecting judgment)—yang
timbul dari finalitas alam (finality of nature) yang
disebutnya dengan nama estetika.[6]
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Immanuel
Kant (22 April 1724 - 12 Februari 1804) adalah seorang filsuf asal Jerman pada
abad ke-18. Kant menciptakan sebuah perspektif baru dalam filsafat yang
berpengaruh luas pada filsafat terus berlanjut sampai ke abad ke-21 . Ia menerbitkan karya-karya
penting pada epistemologi , serta karya-karya relevan dengan
agama, hukum dan sejarah. Salah satu yang paling menonjol adalah karya-karyanya
Critique of Pure
Reason,
penyelidikan dan struktur keterbatasan akal itu sendiri. Ini mencakup serangan
terhadap tradisional metafisika dan epistemologi dan menyoroti kontribusi Kant
sendiri ke daerah-daerah. Karya-karya utama lain dari kedewasaannya adalah Critique of
Practical Reason,
yang berkonsentrasi pada etika dan Kritik kiamat yang menyelidiki estetika dan teleologi .
Karyanya
banyak dipisahkan perbedaan antara tradisi rasionalis dan empiris abad ke-18. Dia memiliki dampak
yang menentukan pada filsafat Romantis dan Idealis Jerman abad ke-19. Karyanya juga menjadi
titik awal bagi banyak filsuf abad ke-20.
Filsafat
Kant dirumuskan dalam perdebatan dua pandangan besar pada waktu itu, yakni
rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme Leibniz dan empirisme David
Hume. Kant dipengaruhi oleh mereka, tetapi mengkritik kedua pemikiran filsuf
ini untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan mereka, serta kemudian merumuskan
pandangannya sendiri sebagai sintesis kritis dari keduanya, yakni filsafat
transendental (transcendental philosophy).
Inilah kecenderungan yang perlahan-lahan menyertai
seluruh Kritisisme Kantian, dan untuk alasan ini tanpa keraguan apapun Kant
adalah Bapak Idealisme modern.
B. SARAN
Penulis beranggapan bahwa tulisan ini
jauh dari kesempurnaan, setidaknya tulisan in dapat membantu
Mahasiswa-mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Andalas dalam mencari sumber
pembuatan tugas atau makalah.
Saran dan masukan sangat penulis harapkan demi perbaikan dan
penyempurnaan dimasa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Mustansyir, Rizal. DKK, Filsafat Ilmu, 2001, (Yogjakarta:
Pustaka Pelajar)
Wikipedia Ensiklopedia. http://id.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant
Wikiquote. http://id.wikiquote.org/wiki/Immanuel_Kant
AminMudzakkir, Revolusi Kantian, 2010
Swary Utami Dewi, 2000, http://sudewi2000.wordpress.com/2012/01/03/kant-kontribusi-revolusioner-dan-pengaruhnya-dalam-filsafat/.
Jeremi Asjena. http://jeremiasjena.wordpress.com/2011/02/24/738/
[4] Amin Mudzakkir http://aminmudzakkir.blog.com/2011/11/10/%E2%80%98revolusi
kopernikan%E2%80%99-immanuel-kant/
[5]
Swary Utami Dewi, 2000, http://sudewi2000.wordpress.com/2012/01/03/kant-kontribusi-revolusioner-dan-pengaruhnya-dalam-filsafat/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar