STILISTIKA
DEFINISI STILISTIKA
Stilistika
(stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan still (style) secara umum
adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara
tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Dalam
hubungannya dengan du istilah di atas perlu disebutkan istilah lain yang
seolah-olah kurang memperoleh perhatian tetapi sesungguhnya dalam proses
analisis memegang peranan besar, yaitu majas. Majas diterjemahkan dari kata trope
(Yunani), figure of speech (Inggris),
berarti penamaan atau kiasan. Jenis majas sangat banyak, seperti
hiperbola, paradoks, sarkasme, inversal, dan sebagainya. Tetapi, pada umumnya
dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu majas penegasan, perbandingan,
pertentangan, dan sindiran. Majas iinilah yang paling banyak dikenal, baik
dalam masyarakat pada umumnya maupun dalam bidang pendidikan, majas berfungsi
sebagai penunjang gaya bahasa.
Istilah
lain yang mungkin muncul dalam kaitannya dengan gaya bahasa di antaranya adalah
seni bahasa, estetika bahasa, kualitas bahasa, ragam bahasa, gejala bahasa, dan
rasa bahasa. Dua istilah pertama memiliki pengertian yang hampir sama, bahasa
dalam kaitannya dengan ciri-ciri keindahan sehingga identik dengan gaya bahasa
itu sendiri. Kualitas bahasa lebih banyak berkaitan dengan nilai penggunaan
bahasa secara umum, termasuk ilmu pengetahuan. Ragam bahasa adalah jenis,
genre, dikategorikan menurut medium (lisan dan tulisan), topik yang dibicarakan
(ilmiah dan ilmiah populer), pembicara (halus dan kasar), semangat (regional
dan nasional).
Dalam
pengertian sempit gejala bahasa menyangkut perubahan (penghilangan, pertukaran)
dalam seuah kata seperti sinkope, apokope, dan metatesis. Dalam pengertian luas
gejala bahasa menyangkut berbagai bentuk perubahan bahasa, baik lisan maupun
tulisan. Gejala bahasa paling khas dengan demikian adalah gaya bahasa itu
sendiri, termasuk majas. Rasa bahasa adalah perasaan yang timbul setelah
menggunakan, mendengarkan sutu ragam bahasa tertentu. Bahasa tidak semata-mata
mewakili makna harfiah, makna denotatif, tetapi juga sebagai akibat konteks
sosial.
Gaya
merupakan salah satu cabang ilmu tertua dalam bidang kritik sastra. Menurut
Fowler, makna-makna yang diberikan sangat kontroversial, relevansinya
menimbulkan banyak perdebatan. Gaya terkandung dalam semua teks, bukan bahasa
tertentu, bukan semata-mata teks sastra. Gaya adalah ciri-ciri, standar
bahasa,gaya adalah cara ekspresi. Meskipun demikian, gaya pada umumnya dianggap
sebagai sebuah istilah khusus, semata-mata dibicarakan dan dengan demikian
dimanfaatkan dalam bidang tertentu, bidang akademis, yaitu bahasa dan sastra.
Dengan pertimbangan bahwa gaya menyangkut masalah penggunaan bahasa secara
khusus, maka sastralah yang dianggap sebagai sumber data utamanya. Perkembangan
terakhir dalam sastra juga menunjukkan bahwa gaya hanya dibatasi dalam
kaitannya dengan analisis puisi. Alasannya, di antara genre-genre karya sastra,
puisilah yang dianggap memiliki penggunaan bahasa paling khas.
Singkatnya,
stilistika berkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya secara umum, meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia.
Stilistika dalam karya sastra merupakan bagian stilistika budaya itu
sendiri. Meskipun demikian, dengan adanya identitas penggunaan bahasa, maka
dalam karya sastralah pemahaman stilistika banyak digunakan. Menurut Shipley,
stilistika (stilistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan style itu sendiri
berasal dari akar kata stilus (Latin),
semula berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas
bidang berlapis lilin. Bagi mereka yang dapat menggunakan alat tersebut secara
baik disebut sebagai praktisi gaya yang sukses, sebaliknya bagi mereka yang
tidak dapat menggunakannya dengan baik disebut praktisi gaya yang kasar atau
gagal. Benda runcing sebagai alat untuk menulis dapat diartikan bermacam-macam.
Salah satu diantaranya adalah menggores, melukai, menmbus, menusuk bidang datar
sebagai alas tulisan. Konotasi lain adalah ‘menggores’, ‘menusuk’ perasaan
pembaca, bahkan juga penulis itu sendiri, sehingga menimbulkan efek tertentu. Pada
dasarnya di sinilah terletak makna stilus sehingga kemudian berarti gaya bahasa
yang sekaligus berfungsi sebagai penggunaan bahasa yang khas. Dalam tradisi
penulisan lontar di Bali stilus dapat dikenali melalui alat yang disebut
penguntik. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, gaya memiliki sejumlah ciri,
yaitu :
a.
Kekuatan,
kesanggupan, gaya dalam pengertian denotatif. Misalnya gaya pegas, gaya tarik
bumi, gaya lembut.
b.
Sikap,
gerakan, seperti dalam tingkah laku. Misalnya gaya tarik, gaya hidup.
c.
Irama,
lagu. Seperti dalam musik, misalnya musik barat.
d.
Cara
melakukan, seperti dalam olahraga, gaya renang, gaya dada.
e.
Ragam,
cara, seperti dalam karangan, misalnya gaya bahasa populer, gya klasik.
f.
Ragam,
cara, seperti dalam bangunan, misalnya bangunan gaya Eropa.
g.
Cara
yang khas, seperti pemakaian bahasa dalam karya sastra, misalnya gaya inversi.
Kritik paling awal
berasal dari tradisi, yaitu Plato dan, Aristoteles. Keduanya menganggap gaya
sebagai kualitas ekspresi. Perbedaannya, Plato menggangap tidak semua ekspresi
gaya sebagai bentuk ekspresi, sehingga gaya bersifat superior dan interior,
kuat dan lemah, baik dan tidak baik. Terlepas dari kedua tradisi klasik
tersebut dalam teori modern Murry
membedakan tiga pengertian mengenai gaya bahasa yaitu : gaya bahasa sebagai
kekhasan personal, gaya bahasa sebagai teknik eksposisi (penjelasan), dan gaya
bahasa sebagai usaha pencapaian kualitas karya. Terlepas dari pendapat para
peneliti tentang gaya bahasa, gaya bahasa telah didefinisikan secara beragam
dan berbeda- beda.
1.
Ilmu
tentang gaya bahasa.
2.
Ilmu
interdisipliner antara linguistik dan sastra.
3.
Ilmu
tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa.
4.
Ilmu
yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra
5.
Ilmu
yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan
aspek-aspek keindahannya sekaligus latar belakang sosialnya
Kelima
definisi di atas dapat dibedakan menjadi dua kelompok, kelompok pertama yaitu
dari nomor satu sampai 4, mengganggap gaya bahasa sebagai semata-mata
terkandung dalam karya sastra itu sendiri. Kelompok kedua yaitu nomor lima
mengganggap hakikat gaya bahasa terkandung dalam kualitas kerya seklaigus dalam
kaitannya dengan masyarakat, seperti genre dan periode. Jadi dapat disimpulkan
bahwa stilistika adalah ilmu yang mempelajari tentang gaya bahasa.
Menurut
Kridalaksana, stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan
dalam karya sastra, ilmu interdisipliner linguistik pada penelitian gaya
bahasa. Slametmuljana mengemukakan bahwa stilistika itu pengetahuan teng kata
berjiwa. Kata berjiwa itu adalah kata yang dipergunakan dalam cipta sastra yang
mengandung perasaan pengarangnya. Tugas stilistika adalah menguraikan kesan
pemakaian susun kata dalam kalimat kepada pembacanya. Penyusunan kata dalam
kalimat menyebabkan gaya kalimat, di samping ketepatan pemilihankata, memgang
peranan penting dalam cipta sastra. Stilistika bukan hanya ilmu tentang
penggunaan bahasa dalam bahasa di karya kesusastraan, melainkan juga studi gaya
bahasa dalam bahasa pada umumnyameskipun ada perhatian khusus pada bahasa
kesusatraan.
PEMAHAMAN
GAYA DALAM PERSPEKTIF KESEJARAHAN
Uraian
tentang pengertian gaya dalam perspektif kesejarahan dilakukan dengan
memberikan gambarakn tentang konsep style atau gaya pada masa sebelum masehi,
abad pertengahan dan renaissance sekitar tahun 1500-1700, neoklasik dan
romantik sekitar tahun 1700-1798, modernisme yang berkembang setelah perang
dunia 1 dan postmodernisme yang berkembang setelah perang dunia 2. Pengertian
gaya dalam berbagai sudut pandang juga dilakukan dengan mengemukakan perbedaan
konsep gaya dari beberapa perkembang stilistik pada dekade sekarang, utamanya
bila dihubungkan dengan perkembangan kajian gaya pada masa modernisme.
Pemahaman gaya yang ditinjau dari perspektif kesejarahan dapat memperkaya
wawasan tentang keragaman konsepsi gaya, hubungan gaya dengan berbagai gambaran
fakta lain yang diasumsikan berkaitan dengan keberadaan gaya, kergaman sudut
pandang dalam menyikapi gaya sebagai sasaran kajian, keragaman landasan teori
yang dapat digunakan dalam upaya memahami gaya sebagai sasaran kajian, dan
penentuan posisi sasaran kajian yang dilakukan bila dibandingkan dengan
sejumlah konsepsi lain maupun hasil kajian lain yang berkaitan dengan masalah
gaya. Barthes misalnya, mengemukakan
bahwa “..the style of a writer, althought this is always pervaded by certain
verbal patterns coming from tradition that is, from the community.” Barthes
beranggapan demikian karena bagi Barthes style dianggap sebagai sisi lain yang selalu
menyertai aktivitas penggunaan bahasa. Apabila bahasa terkait dengan sistem dan
kaidah yang hidup dalam kelompok masyarakat tertentu dan tumbuh dengan mewarisi
tradisi tertentu, maka penggunaan bahasa yang dilandasi style tersebut juga
tidak dapat dilepaskan dari tradisi maupun sistem dan kaidah yang berlaku dalam
masyrakat. Anggapan demikian tentu tidak terlalu tepat bila dihubungkan dengan
penggunaan style dalm kreasi sastra, kreasi sastra selain mengutamakan
kebaharuan juga mengutamakan kekhasan.
SUMBER
OBJEK PENELITIAN STILISTIKA
Sumber
objek penelitian berfungsi untuk menunjukkan di mana, dalam bentuk apa, dan
kapan objek dapat diangkat ke dalam bentuk data. Berbeda dengan objek
penelitian ilmu kealaman yang dpat dideteksi secara nyata, secara terindra,
objek ilmu humaniora, khususnya sastra lebih banyak bersifat abstrak, hantya
dapat dilihat secara paradigmatis intuitif. Ketajaman intuisilah yang memegang
peranan penting, seberapa jauh suatu komunikasi antara subjek dan objek dapat
dibentuk sehingga data dapat direalisasikan dan dengan dianalisis secara benar.
Dengan mempertimbangkan definisi gaya bahasa sebagai pemakaian bahasa secara
khas di satu pihak, stilistika sebagai ilmu pengetahuan mengenai gaya bahasa di
pihak lain, maka sumber penelitiannya adalah semua jenis komunikasi yang
menggunakan bahasa sehari-hari. Darbyshine menunjukkan dua cara untuk mengidentifikasi
gaya bahasa, yaitu : secara teoritis, dilakukan dengan sengaja menemukan
ciri-ciri pemakaian bahasa yang khas yang pada umumnya dilakukan dalam
kaitannya dengan penelitian ilmiah, misalnya, pada saat menganalisis sebuah
karya sastra. Kemudian, secara praktis, melalui pengamatan langsung terhadap
pemakaian bahasa sehari-hari, misalnya melalui pemakaian berbagai perumpamaan.
Keduanya tidak bisa dipisahkan sebab baik cara pertama maupun kedua dapat
digunakan sebgaia penelitian iliah atau sebaliknya semata-mata sebagai
pengamatan sepintas. Meskipun demikian, dikaitkan dengan relevansinya, sebagai
kekhasan itu sendiri, bahasa yang diciptakan dengan sengaja, bahkan sebagai
bahasa yang artifisial, maka stilistika pada umumnya dibatasi pada karya sastra.
Lebih khusus lagi pada karya sastra jenis puisi.
Dominasi
penggunaan bahasa khas dalam karya sastra diakibatkan oleh beberapa hal,
sebagai berikut :
1.
Karya
sastra mementingan unsur keindahan.
2.
Dalam
menyampaikan pesan karya sastra menggunakan cara-cara tak langsung, seperti :
refleksi, proyeksi, manifestasi, dan representasi.
3.
Karya
sastra adalah curahan emosi, bukan intelektual.
Penggunaan
bahasa khas bukan dalam pengertian bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa
sehari-hari dan bahasa karya ilmiah. Tidak ada perbedaan prinsip seperti
kosakata dan leksikal antara bahasa sehari-hari dan bahasa ilmiah dengan bahasa
yang digunakan Amir Hamzah, Chairil Anwar, Supandi Djoko Darmono, dan
sebagainya. Ciri khas dan perbedaan diperoleh melalui proses pemilihan dan
penyusunan kembali. Analog dalam kehidupan sehari-hari, gaya sebagai salah satu
cara hidup antara berbagai cara lain, gaya bahasa adalah masalah cara pemakaian
khas, bukan bahasa khas yang berbeda dengan kamus.
Objek
utama analisis stilistika adalah teks atau wacana. Objek analisis bukan bahasa
melainkan bahasa yang digunakan, bahasa dalam proses penafsiran. Ketka sebuah
kalimat diucapkan, sebagai parole, pada saat itulah terjadi komunikasi
antara objek dengan pembaca dan terjadi proses penafsiran. Penafsiran itulah
hasil dari analsis teks yang dapat dituangkan ke dalam karya tulis. Tulisan
tersebut kemudian menjadi bahasa yang siap untuk diinterpretasikan kembali,
baik oleh pembaca yang berbeda maupun oleh pembaca yang sama pada saat sama.
Ruang
lingkup penelitian stilistika sangat luas {Hough, 1972:31-39), dianggap sebagai
tugas yang tidak mungkin untuk dilakukan, lebih-lebih apabila dikaitkan dengan
pengertian pengertian gaya bahasa secara luas, yaitu : bahasa itu sendiri,
karya sastra, karya seni, dan bahasa sehari-hari, termasuk ilmu pengetahuan.
Ruang lingkup bertambah luas dengan adanya perkembangan paralel di berbagai
negara, sehingga terjadi tumpang tindih di antaranya, untuk membatasinya ruang
lingkup dibedakan menjadi dua macam, yaitu : ruang lingkup dalam kaitannya
dengan objek yang mungkin dilakukan dalam suatu aktivitas penelitian. Banyak
kritikus melakukan penelitian melalui biografi, sejarah sastra, periode
tertentu, ideologi masyarakat tertentu, dan sebagainya. Pada umumnya penelitian
yang paling sering dilakukan berkaitan dengan gaya bahasa karya sastra tertentu
dai pengarang tertentu. Ruang lingkup paling luas adalah khazanah sastra, sebab
akibat yang ditimbulkan oleh adanya usaha untuk menciptakan bahasa yang khas,
baik sastra lama maupun modern, baik sastra lisan maupun tulisan. Di antara
tiga genre sastra modern, puisilah yang
sering digunakan objek penelitian stilistika. Ciri khas puisi adalah kepadatan
pemakaian bahasa sehingga paling besar kemungkinannya untuk menampilkan
ciri-ciri stilistika. Ciri khas prosa adalah cerita (plot), sedangkan ciri khas
drama adalah dialog. Oleh karena itulah, unsur-unsur gaya bahasa dalam kedua
genre terakhir harus dicari dalam kalimatnya dengan plot dan dialog.
Ruang
lingkup paling jelas adalah deskripsi gaya, yang pada umumnya disebut analisis
majas. Berbagai jenis gaya dideskripsikan sekaligus dengan contoh-contohnya,
seperti inversal, hiperbola, litotes, dan sebagainya. Pada umumnya jenis
peenlitian ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu : pembicaraan bahasa secara
khusus, dan gaya bahasa dalam kaitannya dengan sebuah karya sastra.Gaya bahasa
merupakan ekspresi linguistis, baik di dalam puisi maupun prosa. Menurut
Abrams, secara teoritis penelitian dibedakan menjadi dua macam, yaitu
penelitian tradisional dan modern. Penelitian tradisional masih dipengaruhi
oleh dikotomi isi dan bentuk, apa dan bagaimana cara melukiskan suatu objek.
Isi meliputi informasi, pesan dan makna proposiona. Sedangkan bentuk adalah
(gaya) bahasa itu sendiri. Stilistika modern menganalisis ciri-ciri formal, di
antaranya :
a.
Fonologi,
seperti : pola-pola bunyi ujaran, sajak dan irama
b.
Sintaksis,
seperti : tie-tipe struktur kalimat
c.
Leksikal,
meliputi kata-kata abstrak dan konkret, frekuensi relatif kata benda, kata
kerja dan kata sifat
d.
Retorika,
yaitu ciri penggunaan bahasa kiasan dan perumpamaan.
TUJUAN KAJIAN STILISTIKA
Stilistika sebagai salah satu
kajian untuk menganalisis karya sastra. Endraswara (2011:72) mengemukakan
bahasa sastra memiliki tugas mulia. Bahasa memiliki pesan keindahan dan
sekaligus pembawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karyasastra menjadi hambar.
Keindahan suatu karya sastra dipengaruhi oleh kemmapuan penulis mengolah kata.
Keindahan karya sastra juga memberikan bobot penilaian pada karya sastra itu.
Selain itu, menurut Sudjiman dikutip Nurhayati (2008: 11) mengemukakan titik
beratpengkajian stilistik adalah terletak pada penggunaan bahasa dan gaya
bahasa suatu sastra, tetapi tujuan utamanya adalah meneliti efek estetika
bahasa. Keindahan juga merupakan bagian pengukur dan penentu dari sebuah sastra
yang bernilai.
TEORI YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAJIAN STILISTIKA
Pembentuk unsur puisi selain
bahasa adalah keindahan. Pada dasarnya kajian stilistikadikemukakan beberapa
teori-teori yang berhubungan. Menurut Nurhayati (2008:30-38) teori-teori
tersebut digunakan untuk menganalisis bahasa. Teori tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Diksi, pemilihan kata sangat erat kaitannya
dengan hakikat puisi yang penuh pemadatan. Oleh karena itu penyair harus
memilih kata-kata. Penyair harus cermat agar komposisi bunyirima dan irama
memiliki kedudukan yang sesuai dan indah. Selain itu, Tarigan (2011:29)
mengemukakan diksi adalah pilihan kata yang digunakan penyair. Pilihan kata yang
tepat dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanat, efek, dan nada dalam
suatu puisi.
b. Citraan, merupakan penggunaan bahasa untuk
menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, ide, pernyataan, pikiran
dansetiap pengalaman indra yang istimewa.
c. Kata-kata konkret, merupakan kata yang dapat
melukiskan dengan tepat, membayangkan dengan jitu apa yang yang hendak
dikemukakan oleh pengarang.
d. Bahasa figuratif, untuk memperoleh
kepuitisan, penyair menggunakan bahasa figuratif, yaitu bahasa kiasan atau
majas.
e. Rima dan ritma, merupakan pengulangan bunyi
dalam puisi. Dengan pengulangan bunyi tersebut, puisi menjadi merdu bila
dibaca. Bentuk-bentuk rima yang paling sering muncul adalah aliterasi,
asonansi, dan rima akhir. Bunyi-bunyi yang berulang., pergantian permasalahan
yang ada pada puisinya.
f. Nada , merupakan refleksi sikap penyair
terhadap pembacanya, baik suasana hati, dan pandangan terkadang muncul pula
karakter kepribadian pengarangnya tercermin dalam puisi. Penyair pula
menunjukkan sikapnya kepada pembaca, misalnya dengan sikap menggurui,
menyindir, dan lugas.
g. Amanat, merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan suatu puisinya. Dalam hal ini penyair menciptakan puisinya dan tersirat secara tidak langsung muncul di balik tema yang diungkapkan.
SEJARAH PERKEMBANGAN STILISTIKA
SEKILAS PERKEMBANGAN STILISTIKA
DI DUNIA BARAT
Sejarah perkembangan stilistika di
dunia Barat tidak bisa dilepaskan dengan sejarah perkembangan retorika. Secara
historis, yang lebih dulu berkembang adalah retorika. Secara etimologis
retorika berasal dari akar kata rhetor (Latin), berarti ahli berpidato. Jadi,
retorika adalah seni dan teori berbicara di depan publik. Dlam pengertian luas
retorika diartikan sebagai seni, teknik penguasaan sekaligus penggunaan bahasa,
baik lisan maupun tulisan. Tujuannya bukan semata-mata melukiskan sifat-sifat
benda atau gagasan tertentu, melainkan untuk membangkitkan emosi, mendorong,
memengaruhi agar pendengar mengambil sikap tertentu. Atas dasar ciri-ciri
persuasi inilah Hough (1972:1-2) menyimpulkan bahwa asal usul stilistika adalah
retorik bukan puitika.
Sejak zaman klasik hingga sekarang,
Barthes (2007:95) membatasi masa keemasan retorika selama dua setengah
milenium, dari zaman Gorgia hingga Napoleon III, sehingga disebut sebagai
imperlum retorika. Selama tiga abad sejak zaman renaissance dianggap
sebagai masa kemunduran. Pada awal perkembangan retorika Yunani Kuno digunakan
ruang pengadilan, pendapat lain dari Barthes, menyebutkan bahwa retorika lahir
melalui proses kepemilikan harta, sebagai berikut. Sekitar tahun 455 SM di
Sisilia ada seorang penguasa bernama Gelon dan Hieron. Dengan lahirnya
demokrasi, kekuasaan kedua orang penguasa tersebut akhirnya jatuh. Proses pada
gilirannya diikuti oleh tuntutan masyarakat untuk mengembalikan hak miliknya
masing-masing. Dalam hubungan inilah diperlukan kepandaian berbicara, sekaligus
dengan menyewa para juri, para agitator untuk memenangkan perkara. Beberapa
literatur menunjukkan bahwa retorika sudah dibicarakan sejak zaman Yunani Kuno,
sejak lahirnya karya monumental illiad dan Odysney karangan Hoermerson. Episode
Thersites dalam illiad II pada saat berpidato di depan majelis Achacan
menunjukkan bahwa Thersites adalah orator terlatih. Pada saat bersamaan
bangsa-bangsa lain, seperti Mesir, Cina, dan India diduga juga telah
mengembangkan seni berpidato. Catatan-catatan tertulis mengenai retorika
dilakukan oleh Solon (560-640 SM), Thenustoklen (460-525 SM), dan Perikles
(429-500 SM). Buku-buku pertama tentang retorika ditulis oleh Corax dan
muridnya Tislas (467 SM). Menurut Ricoeur, retorika pertama kali dikemukakan
oleh Empedocles. Kemudian retorika mulai diajarkan di sekolah-sekolah dan
sampai ke forum formal. Aristoteles membedakan antara puitika dan retorika.
Puitika adalah teori sastra dalam kaitannya dengan epik, drama, dan lirik.
Esensi puisi adalah imitasi, sedangkan persuasi adalah esensi retorika. Tujuan
retorika adalah efektivitas praktis, sedangkan tujuan puitika adalah keindahan.
Retorika memberikan perhatian pada penalaran, puitika pada penciptaan.
Dikaitkan dengan subjek kreatornya, perbedaan tampak pada wacana yang
dihasilkan. Apabila subjek kreator retorika bertujuan untuk memengaruhi
pendengar, subjek kreator puitika bertujuan untuk melakukan kehidupan. Pada
gilirannya, tujun akhir retorika adalah aksi, tindakan. Cara-cara yang dilakukan misalnya, mempengaruhi,
meyakinkan, bahkan juga memerintah, menekan. Tujuan akhir puitika adalah
stimulasi spirit dan imajinasi, misalnya dengan cara mengibur, memikat, dan
membelokkan perhatian. Menurut Barthes, retorika dan puitika itu bersatu pada
abad pertengahan, di dalamnya seorang ilustor sekaligus adalah penyair.
Hubungan antara retorika dan puitika inilah dianggap sebagai awal lahirnya
gagasan mengenai sastra, sekaligus memposisikan retorika sebagai gaya, bukan
penalaran. Dikaitkan dengan ciri-cirinya yang sangat dekat dengan selera
publikretorika Aristoteles memiliki implikasi yang sangat kuat dengan budaya
massa. Dalam budaya massa, dengan bantuan teknologi, segala sesuatu tampak
seolah-olah benar.
PERKEMBANGAN STILISTIKA DI
INDONESIA
Berbeda dengan di Barat,
perkembangan stilistika di Indonesia sangt lambat bahkan hampir tidak ada
kemajuan. Masalah yang sama juga terjadi pada studi yang dianggap sebagai genesisnya, yaitu
retorika. Retorika hanay dipahami sebagai bahasa dalam kaitannya dengan
kemmapuan berpidato. Penelitian tentang stilistika pada umumnya terbatas sebgai
subbagian dalam sebuah buku, teks atau dalam skripsi dan tesis. Kualitas
penelitian pun terbatas semta-mata deskripsi pemakaian bahasa yang khas,
sebagai gaya bahasa. Buku pertama dalam kaitannya dengan gaya bahasa ditulis
oleh Slametmuljana. Meskipun tidak secara ekplisit menyebutkan istilah gaya
bahasa dan stilistika, tetapi dikaitkan dengan judulnya yaitu peristiwa
bahasa dan peristiwa sastra daptlah disebutkan bahwa buku tersebut mengawal
studi stilistika di Indonesia. Sebagian besar pembicaraan yang dilakukan
berkaitan dengan bahasa dan sastra, khususnya puisi, yang disebut sebagai ‘kata
berjiwa’, bahasa kontekstual, yang dibedakan dengan bahasa kamus, bahasa dengan
arti tetap sebagai bahasa bahasa bebas konteks. Menurut Slametmuljana,
pemahaman mengenai kata-kata berjiwa inilah yang disebut sebagai stilistika.
Bahasa adalah alat untuk mewujudkan pengalaman jiwa yaitu cita dan rasa ke
dalam rangkaian bentuk kata yang tepat dan dengan sendirinya sesuai dengan
tujuan pengarang. Pada gilirannya, Chairil anwar dianggap sebagai pelopor dalam
memnafaatkan kemampuan bahasa Indonesia, khususnya dalam karya sastra,
sekaligus memengaruhi perkembangan karya sastra selanjutnya.
Gorys Keraf dalam bukunya yang
berjudul diksi dan gaya bahasa sama sekali tidak menyinggung istilah
stilistika tetapi dilihat dari isinya secara keseluruhan mengarah pada
pemahaman stilistika. Sesuai dengan judul bukunya, Keraf memang bermaksud untuk
mmeberikan tekanan pada pilihan kata dan gaya bahasa. Perkembangan retorika
klasik menjadi retorika modern, dengan ciri-ciri dominasi bahasa tulis pada
dasarnya merupakan awal perkembangan studi stilistika. Dikaitkan dengan gaya
bahasa itu sendiri, buku tersebut termasuk paling lengkap. Keraf membagi
pembicaraannya menjadi tujuh bab, semua bab berbicara tentang gaya bahasa. Keraf juga menyebutkan bahwa
stilistika berasal dari retorika. Oleh karena itulah bab pertama secara
keseluruhan membahasan tentang retorika. Rachmat Djoko Pradopo dalam bukunya
yang berjudul pengkajian puisi analisis strata norma dan analisis struktural
dan semiotik (1987) membagi pembicaraannya menjadi dua, bagian pertama
berjudul analisis strata norma puisi, bagian kedua analisis struktural dan
semiotik. Bagian pertamalah yang dapat dikategorikan sebagai analisis
stilistika sebab di samping didominasi oleh pembicaraan mengenai puisi, penulis
juga membicarakan aspek-aspek yang berkaitan dengan puisi, khususnya gaya
bahasa. Sepanjang diketahui hanya buku Umar Junus yang dapat disebut sebagai
buku teks menangani stilistika, dan disajikan dalam satu kesatuan, bukan
karangan-karangan lepas.
STILISTIKA DAN PUITIKA
Pembicaraan hubungan antara bahasa dan sastramerupakan
hal yang sangat penting. Medium utama sastra adalah bahasa sehingga keduanya
berkaitan dangat erat, todak bisa dipisahkan. Dalam genre tertentu, seperti
puisi, bahasa bukan semata-mata alat melainkan juga tujuan itu sendiri.
Dikaitkan dengan bahasa sastra itu sendiri, ada dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama mengatakan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa
sehari-hari, medium sastra aadalah bahasa yang khas. Sebaliknya, pendapat kedua
mengatakan bahwa bahasa sastra pada dasarnya sama dengan bahasa sehari-hari.
Puitika berasal dari akar kata poet
(penyair). Puitika sudah dikeanl sejak zaman Yunani Kuno, dibicarakan dalam
retorika. Dalam perkembangan berikut keduanya memiliki tujuan yang berbeda.
Retorika bertujuan untuk memengaruhi, sedangkan tujuan puitika adalah
keindahan, melukiskan kehidupan. Pada awalnya puitika diartikan sebagai ilmu
yang berkaitan dengan puisi. Popularitasnya dipicu melalui dua faktor, pertama,
pada zaman Yunani Kuno puisi merupakan genre sastra yang pling penting. Kedua,
sesuai engan buku Aristoteles yang berjudul khetoric dan poetica.
Dalam analisis puitika jelas
berkaitan dengan teori dan metode. Sebagai ilmu, puitika dikaitkan dengan
hakikat karya. Sebaliknya, sebagai pemahaman, baik teori maupun pemahaman
berkaitan dengan cara-cara tertentu. Secara garis besar ada dua teori sastra
kontemporer, yaitu strukturalisme dan postrukturalisme. Secara definitif, teori
pertama mempermasalahkan unsur, totalitas, dan antarhubungannya. Sedangkan
teori kedua mendekonstruksi dengan memberikan makna secara proporsional.
singkatnya, puitika berfungsi untuk menyajikan gaya bahasa, sebagai stilistika
yang kemudian dipahami melalui teori dan metode tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, 1995. Stilistika; pengantar
memahami bahasa dalam karya sastra. IKIP Semarang Press
Kutha Ratna, Nyoman, Prof. Dr, 2008.
Stilistika; kajian puitika bahasa, sastra dan budaya. Pustaka pelajar
http://journal.lppmunindra.ac.id/index.php/Deiksis/article/viewFile/884/1052
https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/1287
Tidak ada komentar:
Posting Komentar