FONOLOGI
(Intisari
Buku Masnur Muslich)
Pendahuluan
Fonologi
dan Bidang Pembahasannya
Bahwa bahasa adalah sistem bunyi ujar
sudah disadari oleh para linguis. Oleh karena itu, objek utama kajian
linguistik adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam bentuk bunyi ujar. Kalau toh dalam praktik berbahasa dijumpai
ragam bahasa tulis, dianggap sebagai bahasa sekunder, yaitu “rekaman” dari bahasa
lisan. Oleh karena itu, bahasa tulis bukan menjadi sasaran utama kajian
linguistik.
Dari sini, dapat dipahami bahwa material
bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar ini
diselidiki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi. Oleh fonologi,
bunyi-bunyi ujar ini dapat dipelajari dengan dua sudut pandang, yaitu (1)
fonetik dan (2) fonemik. Secara lebih rinci, kedua cabang kajian fonologi ini
diuraikan pada bab berikutnya.
Kedudukan
Fonologi dalam Cabang-Cabang Linguistik
Dalam bidang morfologi, yang konsentrasi
analisisnya pada tataran struktur internal kata (mulai dari perilaku kata,
proses pemebentukan kata, sampai dengan nosi yang timbul akibat pembentukan
kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi. Misalnya ketika ingin
menjelaskan, mengapa morfem dasar {pukul} diucapkan secara bervariasi antara
[pukUl] dan [pUkUl], serta diucapkan [pukulan] setelah mendapatkan proses
morfologis dengan penambahan morfem sufiks {-an}, praktis “minta bantuan” hasil
studi fonologi.
Bidang sintaksis, yang konsentrasi
analisisnya pada tataran kalimat ketika berhadapan dengan kalimat Kamu di sini. (kalimat berita), Kamu di sini? (kalimat tanya), dan Kamu di sini! (kalimat seru/perintah)
yang ketiganya mempunyai maksyd yang berbeda, padahal masing-masing terdiri
atas tiga kata yang sama, bisa dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis
fonologi, yaitu tentang intonasi.
Bidang semantik, yang berkonsentrasi pada
persoalan makna kata pun tidak jarang memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan
sebuah kata bisa divariasikan ucapannya, dan kapan tidak. Mengapa kata tahu dan
teras kalau diucapkan secara bervariasi [tahu], [tau], [teras], dan [tǝras]
akan bermakna lain? Hasil analisis fonologislah yang membantunya.
Bidang leksikologi, juga leksikografi
yang berkonsentrasi pada persoalan perbendaharaan kata suatu bahasa, baik dalam
rangka penyusunan kamus maupun tidak, sering memanfaatkan hasil kajian
fonologi. Cara-cara pengucapan yang khas suatu kata dan variasi pengucapan
hanya bisa dideskripsikan secara cermat lewat transkripsi fonetis.
Bidang dialektologi, yang bermaksud
memetakan “wilayah” pemakaian dialek atau variasi bahasa tertentu sering
memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakaian
bahasa, baik secara sosial maupun geografis. Variasi-variasi ucapan hanya bisa
dijelaskan dengan tepat kalau memanfaatkan hasil analisis fonologi.
Begitu juga pada bidang linguistik
terapan. Pengajaran bahasa (khususnya pengajaran bahasa kedua dan pengajaran
bahasa asing) yang bertujuan keterampilan berbahasa lisan harus melatihkan
cara-cara pengucapan bunyi-bunyi bahasa target kepada pembelajar. Cara-cara
pengucapan ini akan lebih tepat dan cepat bisa dikuasai kalau pembelajar
ditunjukkan ciri-ciri artikulasi dan cara-cara pengucapan setiap bunyi yang
dilatihkan dengan memanfaatkan hasil kajian fonologi.
Psikolinguistik ketika menganalisis
perkembangan penguasaan bunyi-bunyi bahasa pada diri anak juga memanfaatkan
hasil kajian fonologi. Mengapa bunyi-bunyi bilabial dikuasai lebih dahulu
daripada bunyi-bunyi labiodentals, mengapa bunyi vokal rendah-depan dikuasai
lebih dahulu daripada vokal tinggi-belakang, bisa dijelaskan secara gamblang
lewat analisis fonetik artikulatoris.
Dalam bidang klinis, hasil kajian
fonologi (khususnya fonetik) dapat dimanfaatkan untuk menangani orang atau anak
yang mengalami hambatan berbicara dan mendengar. Pada awal tahun 2000-an ini
telah muncul buku yang berkaitan dengan klinis ini, misalnya Methods in
Clinical Phonetics, Phonetics for Spceeh Pathology, dan masih banyak lagi.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa
studi fonologi sangat berkaitan dan bahkan sangat berperan pada bidang-bidang
linguistik lain, baik secara teoritis maupun praktis.
Manfaat
Fonologi dalam Penyusunan Ejaan Bahasa
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau
perlambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar ada dua unsur, yaitu
segmental dan suprasegmental, maka ejaan pun menggambarkan atau melambangkan
kedua unsur bunyi ujar tersebut.
Tata cara penulisan bunyi ujar (baik
segmental maupun suprasegmental ini bisa memanfaatkan hasil kajian fonologi,
terutama kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Sebagai contoh,
ejaan bahasa Indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan
memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa Indonesia, terutama yang berkaitan
dengan perlambangan fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa Indonesia dikenal
dengan istilah ejaan fonemis.
Fonetik:
Gambaran Umum
Fonetik
dan Bidang Kajiannya
Fonetik merupakan bidang kajian ilmu
pengetahuan (science) yang menelaah bagaimana manusia menghasilkan bunyi-bunyi
bahasa dalam ujaran, menelaah gelombang-gelombang bunyi bahasa yang
dikeluarkan, dan bagaimana alat pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi bahasa
untuk dianalisis oleh otak manusia (O’Connor, 1982: 10-11, Laderfoged, 1982:
1).
1.
Fonetik
Fisiologis
Bidang fonetik yang mengkaji tentang penghasilan
bunyi-bunyi bahasa berdasarkan fungsi mekanisme biologis organ tutur manusia
dinamakan fonetik fisiologis.
2.
Fonetik
akustis
Fonetik akustis bertumpu pada struktur fisik bunyi-bunyi
bahasa dan bagaimana alat pendengaran manusia memberikan reaksi kepada
bunyi-bunyi bahasa yang diterima. Alat-alat fonetik akustis yaitu frekuensi,
tempo, dan kenyaringan.
3.
Fonetik
auditoris atau fonetik persepsi
Fonetik auditoris atau fonetik persepsi ini mengarahkan
kajiannya pada persoalan bagaimana manusia menentukan pilihan bunyi-bunyi yang
diterima alat pendengarannya.
Ketidaklancaran
Berujar yang Terkait dengan Kajian Fonetik
1.
Kegagapan
(Stuttering)
Merupakan salah satu permasalahan kekurangmampuan artikulator
untuk berfungsi secara normal, dan/atau masalah pengaturan pernapasan atau
lewatan udara dari paru-paru si penutur.
2.
Kelumpuhan
Saraf Otak (Cerebol Palsied)
Ketidaklancaran ini berkaitan dengan keadaan pernapasan
yang tidak normal yang berdampak pada aliran udara yang diperlukan ketika
menghasilkan bunyi bahasa, kenyaringan dan kejelasan suara dan kemampuan
gerakan artikulator-artikulator pertuturan.
3.
Belahan
Langit-Langit Mulut
Penutur yang menghadapi masalah untuk menyebutkan bunyi-bunyi
bahasa karena langit-langit mulutnya yang tidak merata (tinggi-rendah) sempit,
dan (biasanya) diikuti bentuk gusi yang tidak normal.
4.
Rusak
pendengaran
Kasus kerusakan pendengaran ini dapat dibagi ke dalam dua
keadaan, yaitu penutur yang hanya mempunyai masalah kualitas pendengan rendah,
dan penutur yang pekak atau tuli. Penutur yang mempunyai kualitas pendengaran
yang rendah berkemungkinan gagal untuk mengenal dengan baik bunyi-bunyi yang
berfrekuensi tinggi, misalnya bunyi [s] dan [f]. Karena itu, ia akan menghadapi
masalah ketika memahami perkataan dalam suatu ujaran yang mengandung
bunyi-bunyi berfrekuensi tinggi.
Kondisi
Kajian Fonetik
1.
Kajian
Fonetik di Barat
Di Barat, kajian linguistik dilakukan dengan cara
scientific atau ilmiah. Berbagai alat pemeriksaan, penyelidikan dan percobaan
diadakan. Banyak hasil yang diperoleh dari penyelidikan ini. Seperti bagaimana
kedudukan lidah ketika bertutur; peranan yang dimainkan langit-langit lembut
ketika menyebutkan bunyi sengau; peranan pita suara ketika menyebutkan bunyi
dan sebagainya.
2.
Sejarah
Perkembangan Kajian Fonetik
Pengkajian fonetik ditangani secara serius sejak
terbentuknya International Phonetic Assosiation (IPA) pada tahun 1886 di Barat.
Di Rusia, Baudouin de Courtenay yang berbangsa Polandia dan tinggal di St.
Petersburg terkenal karena melahirkan pendapat tentang konsep fonem, yaitu
penggolongan beberapa bunyi yang hampir serupa kepada satu bunyi dasar. Di
Prancis dan Jerman, para sarjana yang berusaha dalam hal ini adalah Paul Paggy
dan Silhelm Victor. Di Denmark ada Otto Jespersen.
Walaupun IPA terbentuk tahun 1886, di Inggris sendiri
pengkajian fonetik digeluti secara intensif mulai tahun 1907, yaitu setelah University of London mengakui
usaha-usaha Daniel Jones (seorang pakar fonetik inggris terkenal) dan
melantiknya sebagai dosen dalam pengkajian fonetik di University Callege. Dengan terbentuknya Asosiasi Fonetik
Internasional ini banyak kemajuan yang dihasilkan, terutama antara tahun
1910-1930.
Fonetik:
Tahapan Komunikasi, Proses Pembentukan, Transkripsi Fonetis
Tahapan
Komunikasi
Sebagai bahan mentah, media, atau
substansi bahasa, bunyi itu menampakan pada peristiwa komunikasi dengan bahasa
lisan. Ketika seseorang (pembicara, orang pertama-selanjutnya disebut O1)
menyampaikan maksud kepada orang lain (pendengar, orang kedua-selanjutnya
disebut O2), yang menampak adalah O1 mengucapkan serangkaian bunyi yang bisa
didengar. Rangkaian bunyi yang mengandung makna/maksud tertentu tersebut
diproduksi oleh alat ucap O1, dan keluar dalam bentuk gelombang-gelombang bunyi
di udara bebas, selanjutnya ditangkap oleh alat pendengar O2 sehingga bisa
didengar sebagai serangkaian bunyi. Bunyi yang didengar tersebut kemudian
diolah sedemikian rupa sehingga menjadi bunyi yang mengandung makna atau maksud
sesuai dengan tujuan komunikasi.
Kegiatan berkomunikasi lisan dimulai
dari otak pembicara. Dengan memanfaatkan fungsi kreativitas otak, O1 menemukan
atau mempunyai gagasan (ide) yang akan disampaikan kepada O2. O1 memilih kata,
frase, atau ungkapan yang dapat mewakili gagasan tersebut, lalu menyusunnya
dalam bentuk kalimat yang sesuai dengan sistem bahasa yang dipakainya. Tahap
pemilihan unsur kebahasaan yang sesuai dengan ide disebut tahap linguistik.
Setelah gagasan tersusun dalam otak,
kemudian otak mengaktifkan saraf motoris dan mengirimkan perintah dalam bentuk
rangsangan-rangsangan ke otot-otot alat ucap. Atas perintah ini, alat ucap
mengadakan gerakan-gerakan sedemikian rupa sehingga memunculkan perubahan tekanan
udara di sekelilingnya yang berpotensi menimbulkan fonasi. Fungsi transmisi
otak ini berada pada tahap fisiologis.
Perubahan tekanan udara yang diakibatkan
oleh gerakan alat ucap tadi, menimbulkan gelombang bunyi yang merambat keluar
dari alat ucap O1 oleh hantaran udara menuju alat pendengar O2. Posisi
gelombang bunyi yang berada antara alat ucap O1 dan alat dengar O2 ini disebut tahap akustis.
Proses
Pembentukan Bunyi
1.
Arus
Udara
Arus udara yang menjadi sumber energi utama pembentukan
bunyi bahasa merupakan hasil kerja alat atau organ tubuh yang dikendalikan oleh
otot-otot tertentu atas perintah saraf-saraf otak. Dengan demikian, arus udara
ini tidak muncul dengan sendirinya, tetapi diciptakan atas perintah saraf-saraf
otak tertentu.
2.
Pita
Suara
Pita suara merupakan sumber bunyi. Bergetar pita suara
dengan cara membuka dan menutup. Lubang pada saat pita suara membuka disebut glotis. Membukanya dari muka menuju ke
belakang. Kadang-kadang membukanya tidak sampai ke belakang betul. Menutupnya
pun mulai dari muka. Selain dari getaran penuh dari muka ke belakang, ada lagi
getaran kecil yang panjangnya setengah, sepertiga, dan seterusnya dari panjang
pita suara, dan bergetar secara serempak. Satu kali membuka-menutupnya pita
suara (dua getaran) disebut satu gelombang. Banyaknya gelombang perdetik
disebut frekuensi bunyi.
3.
Alat-Alat
Ucap
Organ-organ tubuh yang dipergunakan sebagai alat ucap dapat
dibagi menjadi tiga komponen, yaitu:
a.
Komponen
supraglotal, terdiri dari tiga rongga yang berfungsi sebagai lubang resonansi
dalam pembentukan bunyi, yaitu (1) rongga kerongkongan, (2) rongga hidung, dan
(3) rongga mulut.
b.
Komponen
laring, orang awam biasanya menyebut tenggorok. Ini merupakan kotak yang
berbentuk tulang rawan berbentuk lingkaran. Di dalamnya terdapat pita suara.
Laring dengan kerja pita suara inilah yang berfungsi sebagai klep yang mengatur
arus udara antara paru-paru, mulut dan hidung. Pita suara yang dengan
kelenturannya bisa membuka dan menutup ini bisa memisahkan dan sekaligus
menghubungkan antara udara yang ada pada paru-paru dan yang ada pada mulut dan
hidung. Apabila dibuka lebar-lebar, udara yang ada pada paru-paru bisa
berhubungan dengan udara yang ada pada mulut dan hidung. Sebaliknya, apabila
klep ditutup rapat, udara yang ada pada paru-paru terpisah total dengan udara
yang ada pada mulut dan hidung.
c.
Komponen
subglotal, komponen ini terdiri atas paru-paru kiri dan kanan, saluran
bronchial, dan saluran pernapasan (trakea). Fungsi utama komponen ini adalah
untuk pernapasan, yaitu mengalirkan udara dari dan ke paru-paru. Kalau udara
mengalir ke dalam paru-paru disebut menarik
napas, sedangkan kalau udara mengalir ke luar (dari paru-paru) disebut menghembuskan napas.
Transkripsi
Fonetis
Transkripsi Fonetis adalah perekaman
bunyi dalam bentuk lambang tulis. Lambang bunyi atau fonetis yang sering
dipakai adalah lambing bunyi yang sering dipakai oleh The International Phonetic Assosiation (IPA). Alfabet IPA ini
merupakan serangkaian lambang yang didasarkan pada alfabet latin, yang
diciptakan untuk keperluan memerikan semua bunyi bahasa yang ada di dunia.
Berikut beberapa contoh lambang fonetik IPA
yang terdapat dalam bahasa Indonesia.
Lambang
Fonetis
|
Alfabet Latin
|
Contoh
|
[ǝ]
|
Sama dengan huruf e terbalik
|
[kǝ+lǝ+la+war] ‘kelelawar’
|
[ɛ]
|
Sama dengan huruf e capital
|
[pɛn+dɛ?] ‘pendek’
|
[o]
|
Sama dengan huruf o
|
[so+to] ‘soto’, [ka+do] ‘kado’
|
[O]
|
Sama dengan huruf o capital
|
[bO+rOs] ‘boros’
|
[u]
|
Sama dengan huruf u
|
[bu+ku] ‘buku’
|
[U]
|
Sama dengan huruf u capital
|
[ba+tU?] ‘batuk’
|
[i]
|
Sama dengan huruf i
|
[bi+sa] ‘bisa’, [sa+dis] ‘sadis’
|
[a]
|
Sama dengan huruf a
|
[pa+rah] ‘parah’
|
Klasifikasi
Bunyi Segmental dan Deskripsi Bunyi Segmental Bahasa Indonesia
Dasar
Klasifikasi Bunyi Segmental
1.
Ada
Tidaknya Gangguan
Yang dimaksud dengan “gangguan” adalah penyempitan atau
penutupan yang dilakukan oleh alat-alat ucap atas arus udara dalam pembentukan
bunyi. Dilihat dari ada tidaknya gangguan ketika bunyi diucapkan, bunyi dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a.
Bunyi
vokoid, yaitu bunyi yang dihasilkan tanpa melibatkan penyempitan atau penutupan
pada daerah artikulasi.
b.
Bunyi
kontoid, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan melibatkan penyempitan atau
penutupan pada daerah artikulasi.
2.
Mekanisme
Udara
Adalah dari mana datangnya udara yang menggerakan pita
suara sebagai sumber bunyi.
a.
Mekanisme
udara pulmonis, yaitu udara yang datang dari paru-paru menuju keluar.
b.
Mekanisme
udara faringal atau laringal, yaitu udara yang datang dari faring atau laring.
c.
Mekanisme
udara oral, yaitu udara yang datang dari mulut.
3.
Arah
Udara
a.
Bunyi
egresif, yaitu bunyi yang dihasilkan dari arah udara menuju ke luar melalui
rongga mulut atau rongga hidung.
b.
Bunyi
ingresif, yaitu bunyi yang dihasilkan dari arah udara masuk ke dalam paru-paru.
4.
Pita
Suara
a.
Bunyi
mati atau bunyi tak bersuara, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan pita suara
tidak melakukan gerakan membuka menutup sehingga getarannya tidak signifikan.
Misal bunyi, [k], [p], [t], [s].
b.
Bunyi
hidup atau bunyi bersuara, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan pita suara
melakukan gerakan membuka dan menutup secara cepat sehingga bergetar secara
signifikan. Misal bunyi, [g], [b], [d], [z].
5.
Lubang
Lewatan Udara
a.
Bunyi
oral, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga
mulut, dengan menutupkan velik pada dinding faring.
b.
Bunyi
nasal, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga
hidung, dengan menutup rongga mulut dan membuka velik lebar-lebar.
c.
Bunyi
sengau, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga
mulut dan rongga hidung, dengan membuka velik sedikit
6.
Mekanisme
Artikulasi
a.
Bunyi
bilabial, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir bawah dan atas.
Bunyi [p], [b], [m].
b.
Bunyi
labio-dental, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh bibir bawah dan gigi atas. Bunyi
[f] dan [v].
c.
Bunyi
apiko-dental, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh ujung lidah dan gigi atas. Bunyi [t], [d], dan [n].
d.
Bunyi
apiko-alveolar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah dan gusi atas.
e.
Bunyi
lamino-palatal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh tengah lidah dan langit-langit
keras. Bunyi [c], [j].
f.
Bunyi
dorso-velar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh pangkal lidah dan langit-langit
lunak. Bunyi [k], [g].
g.
Bunyi
(dorso-) uvular, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh pangkal lidah dan anak tekak.
Bunyi [q] dan [R].
h.
Bunyi
laringal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh tenggorok. Misalnya, [h].
i.
Bunyi
glottal, bunyi yang dihasilkan oleh lubang atau celah (glotis) pada pita suara.
Misalnya [?].
7.
Cara
Gangguan
a.
Bunyi
stop (hambat), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup rapat
sehingga udara terhenti seketika, lalu dilepaskan kembali secara tiba-tiba.
b.
Bunyi
kontinum (alir), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara tidak
ditutup secara total sehingga arus udara tetap mengalir.
c.
Bunyi
afrikatif (paduan), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup
rapat, tetapi kemudian dilepas secara berangsur-angsur.
d.
Bunyi
frikatif (geser), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara dihambat
sedemikian rupa sehingga udara tetap dapat keluar.
e.
Bunyi
tril (getar), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup dan
dibuka berulang-ulang secara cepat.
f.
Bunyi
lateral (samping), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup sedemikian
rupa sehingga udara masih bisa keluar melalui salah satu atau kedua
sisi-sisinya.
g.
Bunyi
nasal (hidung), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara yang lewat
rongga mulut ditutup rapat, tetapi arus udara dialirkan lewat rongga hidung.
8.
Tinggi-Rendahnya
Lidah
a.
Bunyi
tinggi, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi, mendekati langit-langit keras.
b.
Bunyi
agak tinggi, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi, sehingga agak mendekati
langit-langit keras.
c.
Bunyi
tengah, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah di tengah.
d.
Bunyi
agak rendah, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah agak merendah, sehingga agak menjauhi
langit-langit keras.
e.
Bunyi
rendah, yaitu yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah merendah, sehingga menjauh dari langit-langit
keras.
9.
Maju-Mundurnya
Lidah
a.
Bunyi
depan, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian depan lidah dinaikkan.
Misalnya, [i], [e], [a].
b.
Bunyi
pusat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara lidah merata, tidak ada bagian lidah yang
dinaikkan. Misalnya, [ǝ].
c.
Bunyi
belakang, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian belakang lidah
dinaikkan. Misalnya, [u], [U], [o], [O].
10. Bentuk Bibir
a.
Bunyi
bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk bulat.
Misalnya, [u], [U], [o], [O].
b.
Bunyi
tidak bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau
tidak bulat. Misalnya, [i], [e], [a].
Deskripsi
Bunyi Segmental Bahasa Indonesia
Bunyi vokoid
Bunyi
|
Ciri-Ciri
|
Contoh Kata
|
[i]
|
Tinggi, depan, tak bulat
|
[bila] ‘bila’
|
[Ī]
|
Agak tinggi, tak bulat
|
[adĪ?] ‘adik’
|
[e]
|
Tengah, depan, tak bulat
|
[ide] ‘ide’
|
[ɛ]
|
Agak rendah, depan, tak bulat
|
[nɛnɛ?] ‘nene?’
|
[a]
|
Rendah, depan, tak bulat
|
[cari] ‘cari’
|
[u]
|
Tinggi, belakang, bulat
|
[buku] ‘buku’
|
[U]
|
Agak tinggi, belakang, bulat
|
[batU?] ‘batuk’
|
[o]
|
Tengah, belakang, bulat
|
[toko] ‘toko’
|
[O]
|
Agak rendah, belakang, bulat
|
[tOkOh] ‘tokoh’
|
[α]
|
Rendah, belakang, bulat
|
[allαh] ‘Allah’
|
[ǝ]
|
Tengah, pusat, tak bulat
|
[ǝmas] ‘emas’
|
Bunyi Kontoid
Bunyi
|
Ciri-Ciri
|
Contoh Kata
|
[p]
|
Mati, oral,
bilabial, plosif
|
[paku]
‘paku’
|
[b]
|
Hidup, oral,
bilabial, plosif
|
[baru]
‘baru’
|
[t]
|
Mati, oral,
apiko-dental, plosif
|
[tidUr]
‘tidur’
|
[d]
|
Hidup, oral,
apiko-dental, plosif
|
[dari]
‘dari’
|
[k]
|
Mati, oral,
velar, plosif
|
[kaku]
‘kaku’
|
[g]
|
Hidup, oral,
velar, plosif
|
[gali]
‘gali’
|
[?]
|
Mati, oral, glotal,
plosif
|
[jara?]
‘jara?’
|
[c]
|
Mati, oral,
lamino-palatal, afrikatif
|
[ciri]
‘ciri’
|
[j]
|
Hidup, oral,
lamino-palatal, afrikatif
|
[jara?]
‘jara?’
|
[f]
|
Mati, oral,
labio-dental, frikatif
|
[final]
‘final’
|
[s]
|
Mati, oral,
apiko-alveolar, frikatif
|
[satu]
‘satu’
|
[z]
|
Hidup, oral,
apiko-alveolar, frikatif
|
[zaman]
‘zaman’
|
[š]
|
Mati,
lamino-palatal, frikatif
|
[šarat]
‘syarat’
|
[x]
|
Mati, oral, frikatif
|
[xas] ‘khas’
|
[Ɣ]
|
Hidup, oral,
velar, frikatif
|
[tabliƔ]
‘tabligh’
|