ALIRAN LINGUISTIK



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Aliran-aliran yang berkembang pada ranah linguistik sangatlah dipengaruhi oleh bidang ilmu lain dan paham-paham yang ada disekitarnya, terutama yang serumpun dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Fungsionalisme dalam kajian linguistik merupakan pengaruh dari beberapa paham dalam ilmu seperti antropologi, sosiologi dan psikologi. Paham yang ada disekitar kemunculan fungsionalisme sebagai akarnya adalah strukturalis meskipun ada yang berpendapat berbeda tentang hal ini.
Dalam ilmu antropologi, fase perkembangannya lebih dahulu kemunculan fungsionalisme dari pada strukturalisme itu sendiri. Akan tetapi untuk bidang linguistik, strukturalisme merupakan  akar dari kemunculan fungsionalisme atau struktural fungsional, yang kemudian Halliday menyebutnya dengan Linguistik Struktural Fungsional  (SFL) atau Linguistik Fungsional Sistemik. Makalah ini akan menjelaskan tentang kemunculan fungsionalisme dalam kajian linguistik dan pemikiran Halliday tentang Linguistik Struktural Fungsional tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan Masalah atau masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana munculnya aliran fungsionalism.
2.      Pemikiran Haliday terhadap LSF
C.     Tujuan Penulisan
Tujuan dari tugas ini adalah;
1.      Sebagai tugas pengganti ujian semester III pada mata kuliah Aliran-aliran linguistik
2.      Untuk mengetahui kemunculan aliran fungsionalism dalah ranah ilmu linguistik
3.      Mengetahui pemikiran Halliday dalam LSF
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Aliran Fungsionalisme
Fungsionalisme adalah gerakan dalam linguistik yang berusaha menjelaskan fenomena bahasa dengan segala manifestasinya dan beranggapan bahwa mekanisme bahasa dijelaskan dengan konseuensi-konsekuensi yang ada kemudian dari mekanisme itu sendiri. Wujud bahasa sebagai sistem komunikasi manusia tidak dapat dipisahkan dari tujuan berbahasa, sadar atau tidak sadar.
Konsep utama dalam fungsionalisme ialah fungsi bahasa dan fungsi dalam bahasa. Menyangkut yang pertama sikap fungsionalistis sebagai berikut.
1.      Analisis bahasa mulai dari fungsi ke bentuk.
2.      Sudut pandang pembicara menjadi perspektif analisis.
3.      Deskripsi yang sistematis dan menyeluruh tentang hubungan antara fungsi dan bentuk.
4.      Pemahaman atas kemampuan komunikatif sebagai tujuan analisis bahasa.
5.      Perhatian yang cukup pada bidang interdisipliner, misalnya sosiolinguistik dan penerapan linguistik pada masalah praktis, misalnya pembinaan bahasa.
Berikut ini akan dijelaskan tentang kemunculan fungsionalisme dalam bidang ilmu sosial yang mana mempengaruhi kemunculan fungsionalisme atau struktural fungsional dalam ranah ilmu linguistik. Berbicara tentang faham dan pemikiran tentunya tidak bisa dilepaskan dari tokoh  dan fenomena yang ada disekitarnya.
Acuan dalam menjelaskan kemunculan fungsionalisme itu akan dimulai dari Saussure sebagai pelopor Linguistik moderen disamping klaim bahwa fungsionalisme ini berakar dari struktruralisme. Saussure lahir pada tahun 1857, merupakan anak dari seorang naturalis yang dilingkupi oleh keluarga yang kuat dalam bidang ilmu alam. Ia mengenal linguistik dari seorang filolog yang bernama Adolf Pictet. Pemikir yang kuat pada zamannya antara lain adalah Sigmund Freud (bidang psikologi) dan Durkheim (bidang fisika sosial). Penjelasan-penjelasan Saussure tentang strukturalism kemudian diadopsi oleh bidang lain seperti antropologi dan semiotik.
Strukturalisme dalam bidang antropologi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Brownislaw Kasper Malinowski (1884-1942). Prinsip-prinsip yang dikembangkan olehnya juga merupakan pengaruh dari ilmu linguistik modern de Saussure. Malinowski ini merupakan pelopor ethnografi dan pelopor kemunculan struktural fungsional dan kemudian juga mempengaruhi ahli-ahli sosiologi dan linguistik.  J.R. Firth seorang ahli linguistik Inggris juga mendapat pengaruh besar dari Malinowski. Strukturalisme dalam bidang antropologi semakin mencuat berkat pengaruh Claude-Levi’strauss, bahkan memberi pengaruh besar terhadap sosiologi, sastra dan bahasa serta filsafat.
Pengaruh strukturalis dalam bidang Sosiologi dilakukan oleh Emile Durkheim (1858-1917). Terma yang terkenal dari Durkheim ini adalah “kesadaran kolektif. Pemikiran-pemikirannya tentang strata sosial dan institusi sosial juga sebagai pemicu lahirnya fungsionalisme dalam ilmu sosiologi. Teori itu kemudian dikemukakan oleh Kingsley dan Wilbert Moore pada tahun 1945. Talcott Parsons juga merupakan seorang ahli sosiologi yang juga mengembangkan teori fungsional struktural (Adaptation, Goal attainment, Integration, Latency). Roland Barthes juga memberi pengaruh struktural kuat terhadap sosiologi terutama tentang teori-teori sosial dan marxisme.
Ada beberapa penganut struktural yang berasal dari Amerika seperti Fanz Boas (1858-1942), Edward Sapir (1884-1939), Benjamin Lee Whorf (1897-1941) dan Leonard Bloomfield. Kontribusi Boas adalah pada pengumpulan informasi tentang bahasa-bahasa dan budaya orang asli Amerika. Metode-metode inilah yang kemudian menjadi basis strukturalisme di Amerika. Sapir merupakan murid dari Boas. Mereka mencoba menggabungkan psikologi dan antropologi dalam melihat bahasa yang mana sangat berhubungan dengan cara hidup dan pemikiran dari penutur. Pemikiran inilah yang kemudian dikembangkan oleh Whorf sehingga melahirkan Hipotesis Sapir-Whorf yang mana mengatakan bahwa struktur bahasa seseorang ketika berbicara menentukan atau menjelaskan bagaimana dia melihat dan mempersepsikan dunia. Sementara itu  kontribusi Bloomfield adalah mengokohkan berdirinya linguistik sebagai sains. Dia juga menolak kesimpulan yang bersifat mentalistik dari Boas dan Sapir yang banyak dipengaruhi oleh psikologi behavioris. Namun pada akhirnya Bloomfield juga mendapat tantangan dari Noam Chomsky terutama dalam kajian Sintaksis dengan karyanya yang berjudul Struktur Sintaksis (formalis). Pendekatan mentalistik yang diapliksikan Chomsky dan Chomskian melahirkan teori generatif semantik, gramar leksikal fungsional, dll.
Kemunculan aliran fungsionalisme dalam bidang linguistik merupakan kontribusi dari berbagai bidang ilmu diantranya adalah antropologi, sosiologi,  dan psikologi yang menganut strukturalisme. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh besar Saussure hingga Chomskian. Fungsionalisme dalam kajian ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Struktural Fungsional.  Hal yang menonjol dalam kemunculan struktural fungsional dalam ranah linguistik yang dikembangkan oleh Halliday diasumsikan sebagai pengaruh dari tiga bidang ilmu yaitu antropologi, sosiologi dan psikologi. Dalam bidang antropologi yang menonjol adalah tentang sistem tanda (semiotik). Untuk bidak sosiologi adalah pengaruh Barthes tentang peran dan status sosial. Dan selanjutnya dalam bidang psikologi adalah pengaruh behaviorist dan teori kesadaran.
B.     Linguistik Fungsional Struktural Haliday
Pengaruh terbesar dari Struktural Fungsional Halliday berasal dari pemikiran J.R. Firth dan pengaruh mazhab Prague. Firth sendiri mendapatkan pengaruh besar dari Malinowski. Penekanan teori Halliday ini ada pada sisi makna simbol dalam konsep Saussure dan konsep ide yang menyatakan bahwa bahasa itu terbentuk dari bagaimana bahasa itu digunakan. Hal lain yang bisa dilihat bahwa Halliday menganggap bahasa sebagai fondasi bagi pengalaman manusia.  Makna menjadi tekanan pada prinsip ini selain dari fungsi atau dapat dikatakan bahwa fungsi dan makna sebagai basis bahasa manusia dan aktifitas komunikasi.
 Dengan basis struktural yang bertumpu kepada sintaksis, maka pengertian bahasa selajutnya adalah sebagai sebuah rangkaian konstruksi yang terdiri dari morfem hingga struktur wacana. Pendapat lain juga mengatakan bahwa teori ini melihat bahasa sebagai sebuah bentuk semiotik sosial dimana seseorang menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan dengan mengekspresikan makna sesuai konteks.
Pendekatan yang dipakai oleh Halliday adalah konsep konteks situasi yang tercipta dari hubungan sistematis antara lingkungan sosial dan fungsi organisasional bahasa.
Setiap ujaran berarti sebuah tindakan (speech act), tindakan tersebut terjadi sebagai sebuah bentuk interaksi dalam sebuah kontek social. Kontek social ini dapat berupa struktur struktur lain berupa realitas dan fakta social. Jika kita hubungkan dengan pendapat Barthes tentang institusi social, peran dan status social, maka setiap ujaran tersebut akan diucapkan oleh seseorang yang memiliki status social dan melakukan sebuah peran dalam perwujudan sistem ide. Siapa yang bicara, dimana, untuk keperluan apa, dalam konteks situasi disebut sebagai register. Sementara makna tuturan juga ada dalam lingkup konteks budaya dan hal yang begitu disebut dengan genre.
Bahasa sebagai unsur kebudayaan membentuk sebuah sistem dalam kajian antropologi. Sementara fungsional menurut pandangan antropologi adalah: sebuah kebudayaan akan tetap ada dan dipakai (fungsional) apabila kebudayaan tersebut memenuhi kebutuhan individu atau kolektif. Contohnya, budaya gotong royong masih dipertahankan apabila mampu memenuhi kebutuhan individu dan kolektif, tapi apabila tidak maka bentuk gotong royong akan hilang. Kelemahannya dalam kajian antropologi adalah perubuhan kebudayaan itu sendiri bukanlah menjadi persoalan, atau hal yang bias dijelaskan.
Hal  lain yang bias kita lihat adalah adanya sistem yang membuatnya fungsional. Istilah sistem dalam Linguistik Fungsional Sistemik ini dapat diacukan dari pendekatan antropologi ini, dan juga dalam pendekata sosiologi. Sebuah institusi sosial seperti kampus, akan ada pembagian peran yang melekat dengan status secara structural mulai dari rector sampai kepada staf. Apabila satu sub sistem tidak berfungsi dengan baik, maka akan mengganggu kerja sistem yang lain. Penekanan yang diadopsi oleh Halliday tentang sistem dalam Linguistik Fungsional merupakan gabungan antara Sistem symbol dan sistem sosiologi (kontek situasi).
Kelahiran SFL ini merupakan proses dari perkembangan faham struktural Ferdinand de Saussure yang basisnya merupakan linguistik mikro dan kemudian merambah kepada bidang ilmu antropologi, sosiologi, psikologi dan lain-lain. Walau terjadi pertentangan dan perbedaan beberapa orang pemikir, akan tetapi SFL mencoba menggabungkan semuanya dalam kerangka strukturalis. Konsep konsep yang berusaha disatukan Halliday dalam SFL adalah kesadaran sosial, semiotik, morfosintaksis, sistem sosial, register dan konteks budaya.
Hal ini tentunya juga terlihat dari apa yang digiati oleh Halliday sendiri, yang fokus pada perkembangan dan pemilikan bahasa. Teori dan pendekatan Halliday ini sangat berpengaruh saat ini dalam kajian Applied linguistik terutama pengajaran bahasa. Hal inilah sebenarnya yang mendasari Communicative Language Teaching sebagai metode dan beserta teknik-teknik yang dapat dikembangkan dari pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik.
Setiap kajian bahasa berdasarkan pada suatu pendekatan, tidak ada kajian bahasa yang beba terhadap anggapan dasar. Pada konsep LFS dikemukakan bahwa bahasa merupakan sistem arti dan sistem bentuk dan ekspresi untuk merealisasikan arti tersebut. Berdasarkan persfektif LFS, bahasa berfungsi untuk membuat makna atau arti dan bahasa mempunyai tiga fungsi yaitu:
1.      Fungsi memaparkan pengalaman (fungsi Ideasonal)
2.      Fungsi mempertukar pengalaman (fungsi antar persona)
3.      Fungsi merangkai pengalaman (fungsi tekstual).



BAB III
SIMPULAN
Fungsionalisme adalah gerakan dalam linguistik yang berusaha menjelaskan fenomena bahasa dengan segala manifestasinya dan beranggapan bahwa mekanisme bahasa dijelaskan dengan konseuensi-konsekuensi yang ada kemudian dari mekanisme itu sendiri. Wujud bahasa sebagai sistem komunikasi manusia tidak dapat dipisahkan dari tujuan berbahasa, sadar atau tidak sadar.
Pengaruh terbesar dari Struktural Fungsional Halliday berasal dari pemikiran J.R. Firth dan pengaruh mazhab Prague. Firth sendiri mendapatkan pengaruh besar dari Malinowski. Penekanan teori Halliday ini ada pada sisi makna simbol dalam konsep Saussure dan konsep ide yang menyatakan bahwa bahasa itu terbentuk dari bagaimana bahasa itu digunakan. Hal lain yang bisa dilihat bahwa Halliday menganggap bahasa sebagai fondasi bagi pengalaman manusia.  Makna menjadi tekanan pada prinsip ini selain dari fungsi atau dapat dikatakan bahwa fungsi dan makna sebagai basis bahasa manusia dan aktifitas komunikasi.
Setiap kajian bahasa berdasarkan pada suatu pendekatan, tidak ada kajian bahasa yang bebas terhadap anggapan dasar. Pada konsep LFS dikemukakan bahwa bahasa merupakan sistem arti dan sistem bentuk dan ekspresi untuk merealisasikan arti tersebut. Berdasarkan persfektif LFS, bahasa berfungsi untuk membuat makna atau arti dan bahasa mempunyai tiga fungsi yaitu:
1.      Fungsi memaparkan pengalaman (fungsi Ideasonal)
2.      Fungsi mempertukar pengalaman (fungsi antar persona)
3.      Fungsi merangkai pengalaman (fungsi tekstual).




DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Chaer, 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta
M.A.K. Halliday. Hasan R. 1985. Language Context, and text:Aspect of language in a social semiotic Perspective. London : Oxford University Press.

DIALEKTOLOGY



METODE PENELITIAN
 INOVASI BAHASA KERINCI
 ISOLEK KECAMATAN BUKIT KERMAN
PENDAHULUAN:
Dalam berkomunikasi, manusia senantiasa menggunakan bahasa. Namun, dalam bahasa yang sama terkadang terdapat perbedaan dalam bahasa yang sama. Perbedaan bunyi (fonem) atau kata (leksikon), serta bentuk (morfem) antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Hal ini disebut juga dengan dialek. Dialek mempengaruhi letak geografis yang berbeda antara penutur bahasa yang sama.
Berkaitan dengan dialek ini ada satu hal yang menjadi permasalahan. Permasalahan yang dimaksud adalah dialek yang memiliki ciri-ciri yaitu adanya rasa saling mengerti antara penutur. Perbedaan dialek yang terdapat dalam satu bahasa yang sama maka muncullah sebuah kajian yang disebut dengan Variasi Bahasa (Dialektologi).
Variasi bahasa (dialektologi) adalah salah satu bidang kajian ilmu linguistik intersdisipliner. Variasi bahasa merupakan representasi perubahan bahasa atau disebut juga dengan perubahan bahasa. Dalam kajian ilmu ini tidak lepas dari merekonstruksi data bahasa yang diperoleh serta memuatkannya dalam peta data, sehingga memudahkan pembaca dalam menganalisa dan melihat perbedaan-perbedaan dalam sebuah dialek.
Dari dialek-dialek tersebut akan terdapat sebuah hubungan rekonstruksi, yaitu rekontruksi bahasa purba (Protobahasa). Dengan adanya rekonstrusi bahasa purba dapat diketahui apakah bahasa-bahasa/dialek-dialek modern yang digunakan penutur sekarang mengalamai inovasi atau retensi. Inovasi yaitu perubahan yang terjadi dalam dialek/bahasa yang diteliti sedangkan retensi bentuk-bentuk atau unsur-unsur bahasa purba yang dicerminkan dalam dialek/bahasa modern.
Mengingat, Kerinci merupakan salah satu dareah yang kaya akan dialek-dialek atau variasi-variasi bahasa, dimana terdapat penutur yang satu dengan penutur yang lain dalam dialek bahasa yang berbeda. Dengan demikian, penulis akan meneliti hal tersebut dengan mengemukakan topik Inovasi Bahasa Kerinci Isolek Kecamatan Bukit Kerman (Kajian Dialektologi).
OBJEK PENELITIAN        : Isolek Desa Pulau Pandan, Pengasi dan Muak
SUMBER DATA                  : Bahasa Kerinci Isolek Kecamatan Bukit Kerman
DATA                                    : Inovasi Bahasa Isolek Desa Pulau Pandan (DP1),
  Pengasi (DP2)  dan Muak (DP3)
dibawah ini adalah contoh data:
 DP1                            DP2                             DP3                 GLOS
/sla:i/                            /cake’/                          /suiah/              Satu
/lampU/                       /lampaw/                      /lampew/          lampu
            Dari contoh diatas; DP1, DP2 dan DP3 dilihat dari penggunaan leksikalnya berbeda, dan juga dilihat dari fonologisnya juga berbeda.
Untuk mencari Inovasinya maka harus disortir terlebih dahulu.
s           ~          c          ~          s                         s
l           ~          a          ~          u                      ⃰ ᴓ
a          ~          k          ~          i                       ⃰ ᴓ
i           ~          e          ~          a                      ⃰ ᴓ
         ~                     ~          h                      ⃰ ᴓ

l           ~          l           ~          l                       ⃰ l
a          ~          a          ~          a                      ⃰ a
m         ~          m         ~          m                     ⃰ m
p          ~          p          ~          p                      ⃰ p
u          ~          a          ~          e                      ⃰ e
         ~          w         ~          w                       w     
Seseorang yang akan melaksanakan penelitian dialektologi dengan metode penelitian lapangan (termasuk penyedia data) harus benar-benar mampu melakukan penelitian lapangan. Selain itu, dia juga harus mampu melakukan transktripsi fonetis.
Transkripsi fonetis merujuk pada bagaimana glos diucapkan (glos merupakan bentuk yang dikenal dalam bahasa yang digunakan oleh peneliti). 
Untuk dapat melaksanakan transkripsi fonetis, peneliti perlu mengenal dan menandai semua bunyi itu sesuai dengan pengucapannya. Jadi, peneliti harus berfokus pada ujaran informan karena ujaran itulah yang harus dituliskan persis sama dengan ujarannya.  Pengenalan terhadap  bunyi-bunyi bahasa  dapat ditelusur  dengan pembentukan bunyi itu serta penamaannya (Lauder, 2002).

POPULASI
Dari sisi komunitas tutur, populasi penelitian dialektogis adalah seluruh penutur isolek yang diteliti (isolek adalah istilah netral untuk menyebut lek yang belum ditentukan statusnya:  sebagai bahasa, dialek, subdialek, atau tanpa beda).  Dari sisi geografis, populasi penelitian adalah seluruh wilayah pakai bahasa. Adapun dari sisi data, populasi penelitian dialektologi adalah semua tuturan (berian) isolek yang diteliti. Berdasarkan hal tersebut populasi diambil pada  semua Isolek Kecamatan Bukit Kerman.

SAMPEL
Sampel penelitian dialektologis dari sisi komunitas tutur berwujud keterwakilan   penutur bahasa yang ada di tiap daerah pengamatan atau disingkat DP. Dari sisi geografis, sampel berwujud  keterwakilan  wilayah pakai bahasa. Dari sisi data, sampel penelitian dialektologis adalah tuturan-tuturan (berian-berian) yang telah ditetapkan glosnya. Berdasarkan hal tersebut Peneliti akan mengambil sampel pada Isolek Desa Pulau Pandan, Pengasi dan Muak.


METODE
-          Simak
Metode simak adalah metode yang dipakai dengan cara penyediaan data yang memang dilakukan dengan cara menyimak. Dalam metode ini peneliti tidak terlibat didalam proses pemerolehan data.
-          Cakap
Metode cakap adalah metode pengumpulan data dengan cara bercakap-cakap dengan informan. data akan diperoleh pada waktu bercakap-cakap tadi.
TEKNIK
-          Teknik pancing
Berdasarkan Sudaryanto, teknik dasar metode simak adalah teknik pancing. peneliti akan memancing data yang akan diucapkan oleh informan. Salah satu cara memancing informan untuk mengeluarkan data adalah dengan cara membuat daftar pertanyaan.
-          Teknik lanjut cakap semuka
Teknik ini dilakukan dengan cara bertatap muka dengan informan dan bertanya langsung kepadanya.
-          Teknik Lanjut catat
Setelah mendapat jawaban dari informan, peniliti tidak hanya mendengarkan, melainkan juga mencatatnya. jawaban yang didapatkan ditulis dengan menggunakan lambang fonetis.
-          Teknik lanjut rekam
Teknik ini menggunakan alat rekam untuk merekan apa yang diberikan data oleh informan. (Nadra dan Reni wati,2009: 65 – 67)

INFORMAN
Setelah DP ditetapkan, jumlah informan pun ditetapkan dengan dasar: satu orang seba­gai informan utama dan dua atau satu orang sebagai informan pembanding. Jadi, dipilih tiga atau dua informan dari tiap-tiap DP.
Pemilihan informan pada tiap DP didasarkan pada kriteria sebagai berikut (Nadra dan Reni Wati, 2009: 36-40) :
(a) berusia 40 – 60 Tahun
(b) berpendidikan tidak terlalu tinggi (maksimum setingkat SMP)
(c) berasal dari daerah penelitian
(d) lahir, dibesarkan dan menikah dengan orang yang berasal dari daerah penelitian;
(e) memiliki alat ucap yang sempurna dan lengkap

METODE ANALISIS :
-          metode Padan ; membandingkan satuan lingual/membandingkan sesuatu dengan yang lain.
-          metode agih; metode distribusional (berdasarkan distribusi dan dilakukan dengan berbagai cara (tekhnik ganti)

INSTRUMEN:
·         Selain instrumen untuk DP dan informan, penelitian dialektologi juga menggunakan instrumen berwujud kosakata dasar yang dikembangkan.
·         Pada awalnya ada seratus kosakata dasar dari Swadesh, kemudian dikembangkan oleh R. Blust menjadi 200 kosakata dasar.
·         Jumlah itu oleh Pusat Bahasa kemudian dikembangkan menjadi 400 kosakata dasar yang digunakan sebagai dasar untuk mengadakan penelitian bahasa di Indonesia.
·         Beberapa pakar mengembangkan instrumen itu menjadi 900—2000 kosakata.




BAHAN BACAAN;

Mahsun. 1994. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nadra dan Reniwati, 2009. Dialektologi: Teori dan Metode. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Tekhnik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

PSIKOLINGUISTIK   PENGERTIAN Secara etimologis, istilah psikolingustik berasal dari dua kata yaitu, Psikologi dan Linguistik. Kedua kata...