PSIKOLINGUISTIK
Secara etimologis,
istilah psikolingustik berasal dari dua kata yaitu, Psikologi dan Linguistik.
Kedua kata ini merujuk pada nama disiplin ilmu, yang mana secara umum Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari prilaku manusia dengan mengkaji hakikat stimulus,
hakikat respon, dan hakikat proses-proses pikiran sebelum respon terjadi.
Tujuan mengkaji proses itu adalah untuk memahami, menjelaskan, dan meramalkan
prilaku manusia.
Sedangkan
Linguistik, secara umum merupakan suatu ilmu yang mengkaji bahasa. Bahasa dalam
konteks Lingustik di pandang sebagai sebuah sistem bunyi yang arbitrer,
konvensional dan di pergunakan oleh manusia sebagai srana komunikasi. Ini
berarti secara umum, Linguistik tidak mengaitkan bahasa dengan fenomena lain,
bahsa hanya di pandang sebagai bahasa yang memiliki struktur khas yang unik.
Pada mulanya, istilah yang di gunakan untuk penggabungan dua ilmu disiplin ini
adalah linguistic psychology (psikologi
bahasa). Kemudian, sebagai hasil kerjasama yang lebih terarah dan sistematis,
lahirlah istilah ilmu baru yang kemudian di sebut sebagai psikolinguistik
(psychologylinguistic).
Psikolinguistik
merupakan, ilmu yang meguraikan proses-proses psikologis yang terjadi apabia
seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang di dengarnya saat
berkomunkasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu di peroleh manusia.
Aitchison membatasi Psikolingistik sebagai studi yang menghubungkan psikologi
dan linguistik..
Dari defenisi di
atas, jelaslah bahwa Psikolinguistik adalah ilmu antardisiplim yang di lahirkan
sebaga akibat adanya kesadaran bahasa merupakan sesuatu yang rumit. Dengan
demikian, satu disiplin ilmu saja tidak mampu menerangkan hakikat bahasa.
Sejak zaman Panini
dan Socrates, kajian bahasa dan berbahasa banyak di lakukan oleh sarjana yang
berminat dalam bidang ini. Pada masa lampau ada dua aliran yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan psikologi dan linguistik. Aliran pertama
adalah aliran empirisme (filsafat postivistik) yang erat berhubungan dengan
psikologi asosiasi. Aliran empirisme cenderung mengkaji bagian-bagian yang
membentuk suatu benda sampai ke bagian-bagiannya yang paling kecil dan
mendasarkan kajiannya pada faktor-faktor luar yang langsung dapat diamati.
Aliran ini sering disebut sebagai kajian yang bersifat atomistik dan sering
dikaitkan dengan asosianisme dan positivisme. Aliran yang kedua adalah
rasionalisme (filsafat kognitivisme) yang cenderung mengkaji prinsip-prinsip
akal yang bersifat batin dan faktor bakat atau pembawaan yang bertanggung jawab
mengatur perilaku manusia. Aliran ini mengkaji akal sebagai satu kesatuan yang
utuh dan menganggap batin atau akal ini sebagai faktor yang penting untuk
diteliti guna memahami perilaku manusia. Oleh sebab itu,
aliran ini
dianggap bersifat holistik dan dikaitkan dengan nativisme, idealisme, dan
mentalisme.
Jauh sebelum
psikolinguistik berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu sebenarnya telah banyak
dirintis kerja sama dalam bidang linguistik yang memerlukan psikologi dan
sebaliknya kerja sama dalam bidang psikologi yang membutuhkan linguistik. Hal
itu tampak, misaInya sejak zaman Wilhelm von Humboldt, seorang ahli linguistik
berkebangsaan Jerman yang pada awal abad 19 telah mencoba mengkaji hubungan
bahasa dengan pikiran. Von Humboldt memperbandingkan tata bahasa dari bahasa
yang berbeda dan memperbandingkan perilaku bangsa penutur bahasa itu. Hasilnya
menunjukkan bahwa bahasa menentukan pandangan masyarakat penuturnya. Pandangan
Von Humboldt itu sangat dipengaruhi oleh aliran rasionalisme yang menganggap
bahasa bukan sebagai satu bahan yang siap untuk dipotong-potong dan
diklasifikasikan seperti anggapan aliran empirisme. Pada awal abad 20,
Ferdinand de Saussure (1964) seorang ahli linguistik bangsa Swis telah berusaha
menjelaskan apa sebenarnya bahasa itu dan bagaimana keadaan bahasa itu di dalam
otak (psikologi). Dia memperkenalkan konsep penting yang disebutnya sebagai
langue (bahasa), parole (bertutur) dan langage (ucapan). De Saussure menegaskan
bahwa objek kajian linguistik adalah langue, sedangkan parole adalah objek
kajian psikologi. Hal itu berarti bahwa apabila kita ingin mengkaji bahasa
secara tuntas dan cermat, selayaknya kita menggabungkan kedua disiplin ilmu itu
karena pada dasarnya segala sesuatu yang ada pada bahasa itu bersifat
psikologis.
` Edward
Sapir seorang sarjana Linguistik dan Antropologi Amerika awal abad ke-20 telah
mengikutsertakan psikologi dalam kajian bahasa. Menurut Sapir, psikologi dapat
memberikan dasar yang kuat bagi kajian bahasa. Sapir juga telah mencoba
mengkaji hubungan bahasa dengan pikiran. Simpulannya ialah bahasa itu
mempengaruhi pikiran manusia. Linguistik menurut Sapir dapat memberikan
sumbangan penting bagi psikologi gestalt dan sebaliknya, psikologi gestalt
dapat memberikan sumbangan bagi linguistik. Pada awal abad ke 20, Bloomfield,
seorang linguis dari Amerika Serikat dipengaruhi oleh dua buah aliran psikologi
yang bertentangan dalam menganalisis bahasa. Pada mulanya, ia sangat
dipengaruhi oleh psikologi mentalisme dan kemudian beralih pada psikologi
behaviorisme. Karena pengaruh mentalisme, Bloomfield berpendapat bahwa bahasa
itu merupakan ekspresi pengalaman yang lahir karena tekanan emosi yang yang
sangat kuat.
CABANG
– CABANG PSIKOLINGUISTIK
Disiplin ilmu psikolinguistik telah
berkembang begitu pesat sehingga melahirkan banyak eberapa subdisiplin baru
untuk memusatkan perhatian pada bidang-bidang khusus tertentu yang memerlukan
penelitian yan seksama. Subdisiplin Psikolingustik itu adalah :
a.
Psikolinguistik
Teoritis, Psikolinguistik yang satu ini
mengkaji tentang hal-hal yang berkaitan dengan teori bahasa, misalnya tentang
hakikat bahasa, ciri bahasa, teori kompetensi dari perfomansi (Chomsky) atau
teori langue dan parole (Saussure) dan sebagainya.
b.
Psikolinguistik
Perkembangan, Psikolinguistik perkembangan, berbicara tentang pemerolehan
bahasa, misalnya berbicara tentang teori pemerolehan bahasa, baik pemerolehan
bahasa pertama maupun bahasa kedua, peranti pemerolehan bahasa (language
acquisition device), priode kritis pemerolehan bahasa, dan sebagainya.
c.
Psikolinguistik
Sosial, Psikolinguistik ini sering juga di sebut sebagai psikosiosiolinguistik,
berbicara tentang aspek –aspek sosial bahasa, misalnya sikap bahasa, akulturasi
budaya, kejut budaya, jarak sosial, periode kritis budaya, pajanan bahasa,
pendidikan, lama pendidikan dan sebagainya.
d.
Psikolinguistik
Pendidikan, Psikolinguistik Pendidikan berbicara tentang aspek-asek penddikan
secara umum di sekolah, terutama mengenai peranan bahasa dalam pengajaran
bahasa pada umumnya, khususnya dalam pegajaran membaca, kemampuan
berkomunikasi, kemampuan berpidato, dan pengetahuan mengenai peningkatan
berbahasa dalam memperbaiki proses penyampaian buah pikiran.
e.
Neuropsikolinguistik.,
Subdisiplin ilmu yang satu ini berbicara tentang hubungan bahasa dengan otak
manusia.
f.
Psikolinguistik
Terapan, Psikolinguistik Terapan berbicara tentang, penerapan temuan-temuan
keenam subdisiplin Psikolinguistik di atas ke dalam bidang-bidang teretentu,
seperti psikologi, linguistik, bebricara adn menyimak, pendidikan, pengajaran,
dan pembelajaran bahasa, pengajaran membaca, neurologi, psikiatri, komunikasi,
kesusastraan, dan lain-lain.
BAHASA DAN BERBAHASA
DEFENISI BAHASA
Bahasa di defenisikan dari banyak sudut pandang,namun secara umum bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer, di pakai oleh anggota masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.
Sistem dalam bahasa adalah sistem yang terdiri dari simbol-simbol. Simol-simbol ini bersifat arbitrer, yakni tidak ada keterkaitan antara simbol-simbol inidengan benda, keadaaan, atau peristiwa yang di wakilinya. Maksudnya, tidak ada keterkaitan antara benda yang di pakai untuk duduk di namakan kursi, yang di kirimkan lewat pos di namakan surat, dan yang di minum di namakan air. Semua bahasa ini tidak mempunyai alasan mengapa demikian wujudnya.
KOMPONEN
BAHASA
Ilmu bahasa memang
telah mengalami banyak macam perubahan, baik dari segi landasan filosofi maupun
alirannya. Perselisihan antara kaum behavioris dan mentalis (nativis) telah
menghasilkan suatu perubahan besar dalam ilmu bahasa, dan ilmu bahasa kini di
dominasi oleh kaum mentalis. Namun, ada satu hal yang tetap konstan , yakni
komponen bahasa.
Pada aliran
linguistik manapun bahasa selalu di katakan memiliki tiga komponen, yaitu
sintaksis, fonologi, dan semantik. Komponen sintaksis menangani hal-hal yang
berkaitan dengan kata, frasa, dan kalimat. Studi tentang kata, seperti telaah
tentang bagaimana kata di bentuk dan di turunkan, umumnya di tangani dalam
suatu tatara yang di namakan morfologi.
Komponen fonologi
bersifat interpretif, di mana komponen ini menangani hal-hal yang berkaitan
dengan bunyi. Bunyi merupakan simbol lisan yang di pakai oleh manusia untuk
menyampaikan apapun yang ingin di sampaika. Pada bahasa, ada bunyi-bunyi yang
sifatnya universal, yakni yang terdapat pada bahasa manapun juga. Seperti,
bunyi vokal [a] [i] dan [u] yang merupakan sistem vokal minimal yang terdapat
pada tiap bahasa. Bahasa bisa saja memiliki lebih dari tiga vokal ini, tetapi
tidak ada bahasa di dunia yang memiliki kurang dari tiga vokal ini. Dalam
komponen fonologi, bukan hanya di inventarisasi jumlah dan macam bunyi yang ada
pada suatu bahasa tetapi juga bagaimana
bunyi-bunyi tadi membentuk suatu sistem dalam bahasa tersebut.
Komponen semantik
membahas tentang makna, dalam komponen ini, kat atidak hanya di beri makna
seperti yang terdapat pda kebanyakan kamus, tetapi juga di beri rincian makna
yang di sebut fitur semantik.
Misalnya, kata jejaka memiliki fitur semantik : [+N], [+manusia]
[+lelaki], [+dewasa], dan [+belum pernah menikah]. Dalam hal-hal tertentu perlu
pula di cantumkan fitur semantik yang ada kaitannya dengan unsur sintaksis. Misalnya,
kata mengawini, di samping memiliki fitur [+V] dan [+transitif], juga
mensyaratkan jika pelakunya adalah pria. Jadi, untuk kata ini harus pula di
tambah [+pelaku pria]. Hal ini di perlukan untuk mencegah munculnya kesalahan
makna dalam kalimat. Seperti halnya komponen fonologi, komponen semantik juga
bersifat interpretif.
CIRI
- CIRI BAHASA
Bloch dan Trager
(1942), mendefinisikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi ujar yang bersifat
manasuka yang merupakan sarana kelompok sosial bekerja sama. Jika kita
perhatikan defenisi terebut, terdapat beberapa unsur penting dalam bahasa,
yaitu bahasa itu sistem, bahasa itu lambang bunyi, bahasa itu di hasilkan oleh
alat ucap, bahasa itu bersifat arbitrer (manasuka) dan bahasa itu merupakan
sarana komunikasi antarmanusia.
Dari defenisi
tersebut, Aitchison (1984) menyatakan bahwa karakteristik bahasa manusia itu
adalah sebagai berikut :
a.
Jalur vokal-auditoris, Ciri ini merupakan
karakteristik bahasa yang paling tampak, bunyi bahasa di hasilkan oleh alat
ucap manusia dan mekanisme pendengaran menerimanya. Penggunaan bunyi juga
banyak di gunakan oleh binatang sebagai sarana komunikasi, akan tetapi tidak
semua sinyal bunyi itu di hasilkan oleh alat ucap.
b.
Arbitrer, Ciri ini mempunyai makna
bahwa, bahasa manusia itu menggunakan lambang yang bersifat sewenang-wenang.
Artinya, antara lambang dengan yang di lambangkan tidak mempunyai hubungan
makna. Misalnya, mengapa suatu benda di sebut sebagai kuris, tidak lain karena
adanya kesepakatan antar pengguna bahasa untuk menyebutnya sebagai kuda. Bahasa
yang sewenang-wenang ini merupakan hasil kesepakatan bersama atau konvensi.
Kelompok yang sepaham dengan
teori arbitre di namakan kelompok anomali, sedangkan kelompok yang tidak
sepaham di namakan kelompok analogi, yang berpendapat bahwa ada hubungan antara
lambang dan sesuatu yang di lambangkan. Contohnya, jangkrik, di namakan
demikian karena berbunyi “krik krik”, dan cicak yang di beri nama demikian
karena berbunyi “cak cak cak”, serta tokek yang di beri nama demikian karena
berbunyi “tokek tokek”. Conrtoh itu menunjukkan terjadinya bahasa karena
peristiwa onomatope atau tiruan bunyi. Jadi, menurut kelompok analogi, alasan
mengapa sesuatu di beri nama demikian, karena adanya hubungan antara lambang
dengan sesuatu yang di lambangkan.
c.
Kebermaknaan, Ciri ini berarti bahwa bahasa
mengacu pada objek atau tindakan, bagi manusia kursi itu berarti tempat duduk
yang berkaki empat dan memiliki sandaran. Manusia, dapat membuat generalisasi
dengan menerapkan nama kursi itu untuk semua jenis kursi dan tidak hanya untuk
satu jenis kursi. Lebih jauh lagi, kebermaknaan dapat mengacu pada tindakan.
Misalnya, melompat mempunyai makna ‘melakukan gerakan dengan mengangkat kaki ke
depan, ke bawah, atau ke atas dengan cepat, kebermaknaan merupakan ciri bahasa
mausia yang khas.
d.
Transmisi budaya, Ciri ini menunjukkan bahwa
bahasa manusia itu di turunkan dari generasi sebelumnya, bahasa tersebut mutlak
di pelajari dalam lingkungan suatu budaya yang ada di sekitar kiita.
e.
Pengguaan spontan, Ciri ini bersifat sosial,
penggunaan spontan menunjukkan manusia itu dapat memulai berbicara secara
manasuka. Berbicara bagi manusia, tidak dalam situasi terpaksa atau di paksa.
f.
Saling berganti, Ciri ini menunjukkan bahwa
bahasa manusia, dapat di gunaka secara bergiliran, ketika seseorang sedang
berbicara, maka yang lain mendengarkan dan kemudiaganti berbicara jika di
perlukan. Dalam sebuah percakapan kira tidak aka berbicara ketika lawan kita
sedang berbicara, kita menunggu giliran kita dengan sopan.
g.
Dualitas atau artikulasi ganda, Ciri ini menunjukkan bahwa
bahasa manusia itu di organisasikan menjadi dua tataran, yakni kesatuan dasar
yang berupa bunyi tuturan, seperti bunyi /a/, /p/, /e/,/l/, tidak akan bermakna
apabila berdiri sendiri-sendiri. Tetapi, ketika bunyi itu bergabung menjadi
satu unit /apel/, maka maknanya jelas sekali, yakni sejenis buah-buahan,
fenomena semacam itu hanya khas milik manusia.
h.
Keterpisahan, Ciri ini mengandung makna
bahwa, bahasa itu dapat di gunakan untuk mengacu benda atau sesuatu yang jauh
dalam pengertian tempat dan waktu. Misalnya, sekarang kita dapat saja berbicara
tentang kerajaan majapahit yang ada dalam abad ke-14. Jelas dari segi waktu,
jauh di belakang kita berabad-abad lamanya, namun bahasa dapat di gunakan untuk
mengacu pada peristiwa atau benda-benda jauh di belakang kita dari segi waktu.
i.
Ketergantungan, Ciri ini merupakan ciri yang
sangat penting bagi bahasa manusia, manusia tidak hanya sekedar menerapkan
rekognisi sederhana atau teknik penghitungan ketika berbicara kepada orang
lain. Mereka secara otomoatis mengenali pola hakikat bahasa dan memanipulasikan
kotak struktur. Misalnya, mereka memahami bahwa sekelompok kata kadang-kadang
dapat menjadi ekuivalensi bagi kelompok yang lain.
j.
Kreativitas, Ciri yang cesara keseluruhan
sangata penting adalah ciri kreativitas, ciri ini seirng juga di sebut sebagai
keterbukaan atau produktivitas. Manusia dapat berbicara tentang apapun tanpa
menimbulkan masalah kebahasaan bagi dirinya maupun orang yang mendenarnya.
PROSES PERSEPSI
UJARAN
Ujaran adalah
suara murni (tuturan) langsung dari pembicara. Jadi, ujaran adalah sesuatu yag
baik berupa kata, kalimat, gagasan yang keluar dari mulur manusia mempunyai
arti. Denga adanya ujaran inilah muncul makna sintaksis, semantik dan
pragmatik. Persepsi ujaran adalah proses yang membawa bunyi yang di hasilkan
gelombang bunyi pada sistem pendengaran serta menghasilkan gambaran pengertian
dan pemahaman terhadap karakteristik linguistik ucapan.Tugas utama proses ini
adalah menginterpretasikan tanda ujaran sebagai untaian linear fon-fon, yang
mana muncul berurutan satu demi satu dan masing-masing merupakan satu kesatuan
yang berbeda.
Persepsi terhadap
bunyi bahasa yang di hasilkan oleh alat bicara inilah yang kemudian di
kelompokkan menjaid dua, yaitu :
Ø Persepsi terhadap bunyi yang
berupa satuan struktural, yaitu vokal dan konsonan.
Ø Persepsi terhadap bunyi yang
berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan dan nada.
Dalam linguistik, kemudian bunyi-bunyi
vokal dan konsonan yang kita dengar di sebut bunyi segmental. Bunyi bahasa yang
berupa cepat-lambat, kelantanga, tekanan dan nada di sebut bunyi
suprasegmental.
Persepsi bahasa tentu saja melalui
tahap-tahap tertentu, pada dasarnya ada tiga tahapan dalam proses persepsi
ujaran atau bunyi, yaitu :
·
Tahap
Audiotori, yang mana pada tahap ini manusi menerima ujaran sepotong demi
sepoton. Ujaran ini kemudian di tanggapi dari segi fitur akustiknya,
konsep-konsep seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur pembeda dan VOT
(voice onset time) sangat bermanfaat di sini, karena hal seperti inilah yang
memisahkan satu bunyi dengan bunyi lainnya, bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita
simpan dalam memori auditori kita.
·
Tahap
fonetik, pada tahap fonetik ini setelah bunyi-bunyi tadi di simpan, kemudian
bunyi-bunyi itu di identifikasi. Dalam proses mental, misalnya apakah bunyi
tersebut [+konsonantal], [+vois], [+nasal] dan seterunya. Begitu pula
lingkungan bunyi itu, apakah bunyi itu diikuti oleh vokal atau kosonan. Jika
oleh vokal, vokal seperi apa, apakah vokal depan, vokal belakang, vokal rendah,
vokal tinggi, dsb. Selanjutnya, kemudian segmen-segmen ini di simpan di memori
fonetik.
Perbedaan antara memori auditori
dan memori fonetik adalah, pada memori auditori semua variasi alofonik yang ada
pada bunyi itu kita simpa, sedangkan pada memori fonetik hanya menyimpan
fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja.
·
Tahap
fonologis, pada tahap ini mental menerapkan aturan fonologis pada deretan bunyi
yang kita dengar untuk menentukan apakah bunyi-bunyi sudah mengikuti aturan
fonotaktik yang ada pada bahasa kita. Misalnya, bunyi /h/ dalam bahasa inggris
tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur inggris pasti tidak
akan menggabungkannya dengan vokal.
Orang indonesia yang mendengar
deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak mustahill akan mempersepsikannya sebagai /mb/,
karena fonotaktik dalam bahasa indonesia memungkinkan urutan seperti ini.
Seperti kata mbak dan mbok.
Dalam rangka memahami bagaimana manusia
mempersepsi bunyi sehingga akhirnya nanti bisa terbentuk komprehensi, para ahli
psikolinguistik mengemukakan model-model teoritis yang diharapkan dapat
menerangkan bagaimana proses persepsi itu terjadi. Sampai saat ini ada empat
model teoritis yang telah diajukan :
a.
Model Teori Motor untuk Persepsi Ujaran
Model yang
diajukan oleh Liberman dkk ini, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Motor
Theory of Speech Perception, menyatakan bahwa manusia mempersepsi bunyi dengan
memakai acuan seperti pada saat dia memproduksi bunyi itu.
b.
Model Analisis dengan Sintesis
Dalam model ini
dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi yang dapat mensintesiskan
bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya (Stevens 1960, dan Stevens dan
Halle 1967, dalam Gleason dan Ratner 1998). Ketika mendengar suatu deretan
bunyi, mula-mula mengadakan analisis terhadap bunyi-bunyi itu dari segi fitur
distingtif yang ada pada masing-masing bunyi itu.
c.
Fuzzy Logical Model
Menurut model ini
(Massaro, 1987, 1989) persepsi ujaran terdiri dari tiga proses : evaluasi
fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk prototipe,
yakni, bentuk yang memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu kata,
termasuk fitur-fitur distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk
dievaluasi, diintegrasi, dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari
prototipe yang ada pada memori kita. Setelah dicocokkan lalu diambil kesimpulan
apakah masukan tadi cocok dengan yang terdapat pada prototipe.
d.
Model Cohort
Model untuk mengenal kata ini terdiri dari dua tahap:
Ø Pertama, tahap di mana informasi
mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar itu memicu
ingatan kita untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip dengan kata tadi. Bila
kita mendengar kata /prihatin/ maka semua kata yang mulai dengan /p/ maka teraktifkan: pahala, pujaan,
priyayi, prakata, dsb. Kata-kata yang termunculkan inilah yang disebut sebagai
cohort.
Ø Pada tahap kedua, terjadilah proses
eliminasi secara bertahap. Waktu kita kemudian mendengar bunyi /r/ maka kata
pahala dan pujaan akan tersingkirkan karena bunyi kedua pada kata kedua ini
bukanlah /r/ seperti pada kata targetnya. Kata priyayi dan prakata masih
menjadi calon kuat karena kedua kata ini memiliki bunyi /r/ setelah /p/. Pada
proses berikutnya, hanya priyayi yang masih bertahan karena kata prakata
memliki bunyi /a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya. Akan tetapi, pada proses
selanjutnya kata priyayi juga tersingkirkan karena pada kata tergetnya bunyi
yang ke-empat adalah /h/ sedangkan pada priyayi adalah /y/. Dengan demikian
maka akhirnya hanya ada satu kata yang persis cocok dengan masukan yang
diterima oleh pendengar, yakni, kata prihatin.
e.
Model Trace
Model ini mula-mulanya
adalah model untuk mempersepsi huruf tetapi kemudian dikembangkan untuk
mempersepsi bunyi. Model TRACE berdasarkan pada pandangan yang koneksionis dan
mengikuti proses top-down. Artinya konteks leksikal dapat membantu secara
langsung pemrosesan secara perseptual dan secara akustik. Begitu pula informasi
di tataran kata dapat juga mempengaruhi pemprosesan pada tataran di bawahnya.
Persepsi ujaran,
ternyata tidaklah sesederhana yang kita pikirkan, di dalamnya terdapat proses
atau tahapan bagaimana suatu persepsi terhadap suatu ujaran itu terjadi.
Melalui tahapan tersebut, pendengar dapat menafsirkan bunyi yang di ujarkan
oleh penutur dan memahaminya secara tepat dan sesuai dengan maksud si penutur.
PENGERTIAN
PEMEROLEHAN BAHASA
Pemerolehan bahasa adalah proses pemahaman dan penghasilan (produksi)
bahasa pada diri anak melalui beberapa tahap mulai dari meraban sampai fasih
berbicara. Bahasa
kedua akan dikuasai secara fasih
apabila bahasa pertama yang diperoleh sebelumnya sangat erat hubungannya
(khususnya bahasa lisan).
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung
di dalam otak anak-anak
ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan
bahasa biasanya dibedakan
dengan pembelajaran bahasa.
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu proses yang diperlukan
oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang semakin
bertambah rumit ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi
yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai
ia memilih berdasarakn suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang
baik serta paling sederhana dari bahasa. dengan bahasa kedua tersebut. Hal itu
memerlukan proses, dan kesempatan
yang banyak. Kefasihan seorang anak untuk menggunakan dua bahasa
sangat tergantung
adanya kesempatan untuk menggunakan kedua bahasa itu. Jika kesempatan banyak maka
kefasihan berbahasanya semakin baik.
TEORI-TEORI
PEMEROLEHAN BAHASA
Teori Behaviorisme 1 oleh B.F. Skinner
Teori behaviorisme
menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan
antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang
efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan
menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak
belajar bahasa pertamanya.
Adapun isi teori
behaviorisme dalam perolehan bahasa pertama :
·
Teori
Behaviorisme mulanya adalah teori belajar dalam psikologi yang telah muncul
sejak 1940-an s/d awal 1950-an dan John B. Watson dianggap sebagai pelopor
utama dalam teori ini.
·
Otak
bayi waktu dilahirkan sama sekali seperti kertas kosong/piring kosong
(tabularasa/blank slate), yang nanti akan diisi dengan pengalaman-pengalaman.
·
Bagi
mereka istilah bahasa menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki dan
digunakan, dan bukan sesuatu yang dilakukan. Itulahsebabnya mereka menyebutnya
dengan Verbal Behavior (perilaku verbal) yang kemudian konsep-konsep tersebut
tertuang dalam bukunya B.F. Skinner yang berjudul Verbal Behavior (1957).
·
pengetahuan
dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan
hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang diamati dan dialami
manusia.
·
Kemampuan
berbicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari
lingkungannya dan anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan
lingkungannya, tidak memiliki peranan yang aktif didalam proses perkembangan
perilaku verbalnya.
Chomsky merupakan
penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia,
binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky
didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu
yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama
(merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peran kecil di
dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang
relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data
yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa. Menurut
aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil
dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melalui “peniruan”. Nativisme juga
percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk
memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Tanpa LAD,
tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa
menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat
membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi bahasa. Adapun bunyi teori nativisme :
§ Rounded Rectangle: Diskusi teori
Pemerolehan Bahasa oleh Asbah dan Roni Amrullah Kamis, 12 November 2008 Teori
ini dipelopori oleh Noam Chomsky pada awal tahun 1960-an sebagai bantahan
terhadap teori belajar bahasa yang dilontarkan oleh kaum behaviorisme tersebut,
yang kemudian menulis buku berjudul “(Review of B. F. Skinner’s Verbal
Behavior, 1959) sebagai bantahan terhadap konsep skinner tentang belajar bahasa
yang ada dalam buku Verbal Behavior (1957).
§ Nativisme berpendapat bahwa
selama proses pemerolehan bahasa pertama, anak sedikit demi sedikit membuka
kemampuan lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan. Jadi lingkungan
sama sekali lingkungan tidak punya pengaruh dalam proses pemerolehan
(acquisition).
§ Chomsky mengatakan bahwa Bahasa
terlalu kompleks untuk dipelajari dalam waktu dekat melalui metode imitation
seperti anggapan kaum behaviorisme. Dan juga bahasa pertama itu penuh dengan
kesalahan dan penyimpangan kaidah ketika pengucapan atau pelaksanaan bahasa
(performance). Manusia tidak mungkin belajar bahasa pertama dari orang lain
seperti klaim Skinner
Menurut Chomsky bahasa hanya dapat
dikuasai oleh manusia, karena:
a.
perilaku
bahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), pola perkembangan bahasa
berlaku universal, dan lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam proses
pematangan bahasa.
b.
bahasa
dapat dikuasai dalam waktu singkat , tidak bergantung pada lamanya latihan
seperti pendapat kaum behaviorism. Lihar proses perkembangan bahasa anak.
c.
Chomsky
menganggap Skinner keliru dalam memahami kodrat bahasa. Bahasa bukan suatu
kebiasaan tetapi suatu sistem yang diatur oleh seperangkat peraturan
(rule-governed). Bahasa juga bersifat kreatif dan memiliki ketergantungan
struktur.
d.
Jadi,
pemerolehan bahasa bukan didasarkan pada nurture (pemerolehan) itu ditentukan
oleh alam lingkungan) tetapi pada nature. Artinya anak memperoleh bahasa
seperti dia memperoleh kemampuan untuk berdiri dan berjalan. Anak tidak
dilahirkan sebagai tabularasa, tetapi telah dibekali dengan Innate Properties
(bekal kodrati) yaitu Faculties of the Mind (kapling mind) yang salah satu
bagiannya khusus untuk memperoleh bahasa, yaitu “Language Acquisition Device”.
e.
LAD
ini dianggap sebagai bagian fisiologis dari otak yang khusus untuk mengolah
masukan (input) dan menentukan apa yang dikuasai lebih dahulu seperti bunyi,
kata, frasa, kalimat, dan seterusnya. Meskipun kita tidak tahu persis tepatnya
dimana LAD itu berada karena sifatnya yang abstrak (invisible).
f.
Dalam
bahasa juga terdapat konsep universal sehingga secara mental telah mengetahui
kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas
yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik mana yang
dipencet itulah yang akan menyebanbkan bola lampu tertentu menyala. Jadi,
bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input dari sekitarnya.
g.
Antara
Nurture dan Nature sama-sama saling mendukung. Nature diperlukan karena tampa
bekal kodrati makhluk tidak mungkin anak dapat berbahasa dan nurture diperlukan
karena tanpa input dari alam sekitar bekal yang kodrati itu tidak akan
terwujud.
g.
Teori Kognitivisme
Menurut teori ini,
bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di
antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa
distrukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan
yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan
perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa. Hal ini tentu saja
berbeda dengan pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari
perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks,
abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus
diperoleh secara alamiah. Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus
dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam
bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap
belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak hanya mengenal
benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah
dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan
simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini
kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.
Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan “input” dan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis. Sebenarnya, menurut hemat penulis, faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan bahasa pertama oleh sang anak sangat mempengaruhi. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai penemuan seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa.. Akan tetapi, yang tidak dapat dilupakan adalah lingkungan juga faktor yang memperngaruhi kemampuan berbahasa sianak. Banyak penemuan yang telah membuktikan hal ini.
a.
Imitasi, dalam perolehan bahasa terjadi ketika
anak menirukan pola bahasa maupun kosa kata dari orang-orang yang signifikan
dari mereka, biasanya orang tua atau pengasuh.
b.
Pengkondisian, mekanisme ini di ajukan oleh
B.F Skinner. Mekanisme pengkodisian atau pembiasaan terhadap ucapan yang di
dengar anak dan di asosiasikan dengan objek atau peristiwa yang terjadi, oleh
karena itu kosa kata awal yang di miliki oleh anak adalah kata benda.
c.
Kognisi, anak memperoleh pemahaman terhadap
kata (semantik) karena secara kognnisi ia memahami tujuan seseorang memproduksi
suatu fonem melalui mekanisme atensi bersama. Adapun produksi bahasa di
perolehnya melalui mekanisme imitasi.
PROSES PEMEROLEHAN
BAHASA
a.
Kompetensi adalah proses penguasaan tata
bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak di sadari,
kompetensi ini di bawah oleh anak sejak lahir, meskipun begitu kompetensi juga
butuh pembinaan sehingga anak-anak memiliki perfomansi berbahasa.
b.
Perfomansi, adalah kemampuan anak
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, perfomansi terdiri dari dua proses,
yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Peroses pemahaman
melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang di dengar,
sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan yang menghasilkan
kalimat-kalimat sendiri.
BI mengacu pada
pengertian bahasa urutan pertama yang diperoleh oleh anak. BI juga mengandung pengertian bahasa
pertama yang dikuasai secara hampir
sempurna sebelum anak menguasai bahasa lain. Meskipun sering disebut
juga bahasa ibu, B1 tidak selalu sama
dengan bahasa ibu kandung si anak. Karena sudah menurani, BI digunakan seumur
hidup,terutama dalam hal yang sifatnya personal. Sebagaimana belajar berjalan.
Kemampuanan B1 ini sangat bergantung pada usia dan kematangan si anak dalam
berbahasa.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kemampuanan Bahasa Pertama:
Perkembangan kognisi
Teori perkembangan kognitif secara
sistematis dikemukakan oleh Piaget (dalam Simanjuntak, 1990: 97-100). Untuk
menjelaskan perkembangan kognitif ini, Piaget memperkenalkan istilah
kecerdasan, yaitu suatu bentuk keseimbangan atau penyeimbangan ke arah tempat
semua kognisi bergerak. Menurut Piaget, terdapat empat peringkat penting dalam
perkembangan kecerdasan itu:
· peringkat masa driya motorik
yang muncul sebelum perkembangan bahasa mulai
· peringkat praoperasi yang muncul
sebelum operasi yang sesungguhnya terjadi pada usia dua hingga tujuh tahun
· peringkat operasi konkret
(operasi sebenamya mengenai objek-objek
konkret di antara umur tujuh hingga dua belas tahun
· peringkat operasi formal (peringkat operasi oposisi)
yang terjadi di atas usia dua belas
tahun.
Hipotesis bawaan
Menurut Chomsky (1981, dalam Lazuardi,
1991) sebagian besar kemampuan berbahasa
manusia ditentukan oleh faktor genetikanya. Sejak lahir, manusia dibekali dengan alat perkembangan bahasa (language
aquisition device) yang sering disingkat dengan LAD. Chomsky mengatakan bahwa
LAD inilah ciri yang membedakan manusia dari hewan, dan merupakan ciri khas
perilaku kebahasaan manusia dibandingkan bentuk-bentuk perilaku nonkebahasaan
makhluk-makhluk lain.
Dalam kaitan
antara IQ dan kemampuanan bahasa, parameter lama itu ditinggalkan oleh Gardner
(1983) dalam Baradja (1994). Menurutnya, IQ seseorang dibedakan ke dalam
intelegensi kebahasaan, intelegensi berpikir secara logis dan matematis,
intelegensi spasial (yaitu kemampuan untuk menemukan jalan pada suatu
lingkungan, kemampuan untuk membentuk image mental dari realita dan dengan
cepat dapat ditransformasikan), intelegensi musikal (kemampuan mengucapkan dan
menerima nada dan pola irama tertentu), intelegensi kinestetik-badani (gerakan
motorik yang anggun, ketangkasan dalam atletik, seni tari, dan sebagainya),
intelegensi interpersonal (kemampuan memahami orang lain, bagaimana bertenggang
rasa, dan sebagaibnya), intelegensi intrapersonal (kemampuan mengadakan
introspeksi, melihat dirinya sendiri, mengembangkan apa yang disebut sense of
identity). Seyogyanya, pengamatan IQ selalu dikaitkan dengan tujuan
pengukurannya. Dalam kaitannya dengan kemampuanan bahasa, klasifikasi Gardner
amat membantu. Potensi kebahasaan seseorang, setidaknya, dapat diamati dari
intelegensi kebahasaannya sebagai masukan utama.
Faktor
Eksternal
Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial memiliki pengaruh
yang besar dalam usaha pendidikan anak. Kemampuanan bahasa yang merupakan salah
satu aspek dari usaha pendidikan anak terpengaruh Pula oleh lingkungan. Secara
berangsur-angsur, anak-anak akan memahan-ii bentuk-bentuk bahasa yang tidak
dapat diterima oleh anggota masyarakatnya sehingga dia tidak selalu boleh
mengungkapkan perasaannya secara lugas.
Karena unsur primer bahasa adalah
ujaran, stimulasi pendengaran berperan amat penting. Orang tua atau orang
dewasa seyogyanya memberikan stimuli ujaran yang baik pada anak-anak. Dengan
demikian, contoh pelafalan yang tepat harus selalu diberikan kepada anak-anak
meskipun anakanak belum bisa menirukannya dengan sempurna. Dengan demikian,
untuk menjamin kesempurnaan masukan diperlukan keteladanan dan ketelatenan
orang dewasa di sekitamya.
B1 berciri urutan
kemampuanannya, kesempurnaan penguasaannya dan fungsinya dalam kehidupan anak.
Ketiga ciri tersebut sekaligus merupakan ciri pembeda antara konsep B1 dan B2.
Berdasarkan ketiga ciri B1 tersebut, B2 pun memiliki tiga ciri. Berdasarkan
urutannya, B2 adalah bahasa yang diperoleh anak setelah mereka memperoleh
bahasa lain. Bahasa yang diperoleh kemudian itu disebut sebagai B2 jika bahasa
yang diperoleh lebih dulu itu telah dikuasai dengan relatif sempurna. Jika
penguasaannya belum sempurna, bahasa yang diperoleh kemudian pun disebut B1. Berdasarkan
fungsinya dalam kehidupan pembelajar, B2 memegang peran yang kurang kuat
dibandingkan B1. Jika B1 digunakan untuk semua aspek kehidupan, terutama yang
bersifat emosional, B2 pada aspekaspek tertentu saja. kemampuanan B2 mengacu
pada pembelajaran. Kemampuanan B2 berwujud kegiatan mengajarkan dan belajar B2
yang umumnya terjadi dalam ruang kelas formal.
Dengan mengacu pada pendapat La Forge
(1983), Tarigan (1988: 125--126) menyebutkan tiga ciri proses pembelajaran B2
ini:
1.
pembelajar
bahasa adalah manusia, karenanya pembelajaran bahasa terjadi dalam interaksi
sosial antarindividu (guru, siswa) yang di dalamnya berlaku hukumhukum sosial
2.
pembelajaran beriangsung dalam interaksi yang
dinamis, berarti bahwa pembelajar tumbuh dan berkembang menuju ke “kedewasaan
ber-B211, sehingga dalam proses ini pengajar diharapkan memberikan segala
pengalamannya untuk membantu pembelajar
3.
pembelajaran
berlangsung dalam suasana responsif. Artinya, proses pembelajaran merupakan
kesempatan besar bagi pembelajar untuk melakukan respon. Pancingan dapat
diberikan oleh pengajar atau sesama pembelajar.
Kemampuanan B1
berlangsung sejak lahir (dimulai dengan reseptif), tetapi kemampuan B2,
umumnya, dimulai saat pembelajar masuk bangku sekolah. Kesempatan untuk mencoba
berbahasa pada kemampuanan B1 waktunya amat luas, sedangkan pada B2 amat
terbatas. Waktu ini berkaitan dengan tempat. Kemampuan B1 dapat memperoleh
B1-nya di mana saja dalam lingkungan rumah dan masyarakat yang akrab dan
dinamis. Sebaliknya, kemampuan B2 memperoleh B2-nya dalam lingkungan sekolah
yang lebih sempit. Hubungan pembelajar-pengajar memiliki karakter yang formal
dan relatif statis. Jadi, dalam kemampuanan B1, waktu dan tempat lebih
mendukung dibandingkan dalam kemampuanan B2. Pembelajar B1 didorong oleh kebutuhan
penguasaannya untuk dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Sementara
itu, kemampuan B2 umumnya karena didorong oleh motivasi instrumental:
mendapatkan nilai baik, menghindari rasa malu, dan sebagainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan
bahasa kedua :
Menurut Baradja (1994:3-12) terdapat
enam faktor yang, perlu diperhatikan secara cermat,yaitu tujuan, pembelajar, pengajar, bahan, metode,
dan faktor lingkungan. Meski demikian, faktor tujuan, pembelajar, dan pengajar
merupakan tiga faktor utama. Dari ketiga faktor ini kemampuanan B2
mengkonsentrasikan diri pada hal-hal yang menyangkut pembelajar dan proses belajar.Pembelajar, sebagai faktor yang
paling utama, mengetahui dengan pasti mengapa dia mempelajari B2. Jawaban atas
pertanyaan ‘mengapa” inilah yang merupakan wujud tujuan belajar B2.
Pembelajaran
seperti halnya penyembuhan penyakit. Jika sudah mengenal betul motivasi, minat,
tujuan, karakter, pengetahuan awal yang dimiliki, serta apa yang sebenamya
paling dibutuhkan oleh pembelajar sebagai pasiennya, pengajaroir tentu akan
memberikan perlakuan: materi, metode, dan media yang tepat. Untuk bisa
melakukan semua itu, pengajar seyogyanya menempatkan diri sebagai mitra belajar dan mitra berbahasa
pembelajar. Dengan kedudukan sebagai
mitra, pembelajar akan beruntung dapat berbahasantara dengan pengajar
secara tanpa beban “disalahkan”.
- Pembelajar B2 Merupakan
Individu yang unik
Dalam dunia
pendidikan, ungkapan bahwa individu pembelajar merupakan makhluk yang unik
sudah amat akrab bagi Anda. Di samping variabel minat, motivasi, dan sikap yang
telah dibahas, keunikan itu mencakup hal yang amat luas. Dalam kaitannya dengan
kemampuanan B2, variabel umur, IQ, dan kepribadian telah banyak diteliti para
ahli.
- Umur dan Kemampuanan B2
Isu tentang kaitan umur dan kemampuanan
B2 berkisar pada asumsi bahwa anak-anak lebih sukses belajar bahasa daripada
orang dewasa dan adanya masa kritis (critical periode) dalam pembelajaran B2.
Masa kritis adalah masa anak atau pembelajar bahasa mencapai kesempurnaan
kesiapan berbagai piranti kebahasaanya. Pada masa. ini otak memiliki tingkat
kematangan untuk mengkoordinasikan beratus-ratus otot kecil yang mengendalikan
artikulasi ujaran. Sebagaimana terhadap asumsi kecepatan belajar, pertanyaan
tentang adanya masa kritis bagi pembelajaran bahasa, apalagi B2, juga
menjadikan ajang perdebatan. Lenneberg (1967) dalam Aitchison (1984) mengaitkan
masa kritis ini dengan lateralisasi bahasa. Menurutnya, lateralisasi merupakan
proses yang lamban, dimulai ketika anak
berusia dua tahun dan berakhir pada masa pubertas. Pendapat berbeda dikemukakan
oleh Hill (1970). Ia mengatakan bahwa lafal
sempurna sebagaimana penutur asli pun dapat diperoleh oleh pembelajar
dewasa.
- IQ dan Kemampuanan B2
Pernyataan yang
menyiratkan adanya sinonimi antara pembelajaran ber-IQ tinggi dengan
pembelajaran pandai itu karena secara tradisional dasar pendefinisian dan
pengukuran intelegensi adalah kemampuan berbahasa dan berpikir secara logis
matematis.
- Kepribadian dan Kemampuanan
B2
Kepribadian
merupakan faktor penentu kemampuanan B2 yang bersifat abstrak. Meski definisi
terhadap istilah ini belum pernah dilakukan, umumnya orang sudah dapat
memahaminya.
- Ekstroversi dan Kemampuanan
B2
Umumnya pembelajar
B2 cenderung lebih berani mengambil resiko bila mereka berhadapan dengan
penutur asli. Hal ini disebabkan mereka merasa aman, penutur asli cenderung
lebih toleran dan tidak cerewet terhadap kesalahan yang diperbuat. Dengan demikian, keberanian untuk
mencoba, mengambil resiko, akan muncul jika pembelajar memiliki rasa aman.
GANGGUAN BERBAHASA
Faktor-faktor gangguan
berbahasa
Gangguan berbahasa ini
secara garis besar dapat di bagi dua. Pertama,
gangguan akibat faktor medis;
dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan,
baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alatalat bicara.
Sedangkan yang dimaksud dengan
faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia,
seperti tersisih
atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Gangguan Mekanisme Berbicara: gangguan berbicara akibat kelainan pada
paru-paru (pulmonal), pada
pita suara (laringal), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan kerongkongan
(resonantal)
a.
Gangguan Akibat Multifaktorial:
·
Berbicara
Serampangan: sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali,
dengan artikulasi yang rusak,
ditambah dengan “menelan“ sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami
·
Berbicara
Propulsif: propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit
Parkinson (kerusakan pada
otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, dan lemah).
·
Berbicara
Mutis (Mutisme): tidak berbicara sama sekali. Sebagian dari
mereka mungkin masih dapat dianggap membisu, yakni memang sengaja tidak mau berbicara.
b. Gangguan Psikogenik
·
Berbicara
Manja: ada kesan anak (orang) yang melakukannya meminta perhatian untuk dimanja
·
Berbicara
Kemayu: perangai kewanitaan yang berlebihan.
·
Berbicara
Gagap: berbicara yang kacau karena sering tersendatsendat, mendadak
berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan
setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan.
·
Berbicara
Latah: menirukan apa yang dikatakan orang lain.
·
Kerusakan
Otak: Kerusakan pada daerah Borca dan Wernicke menyebabkan terjadinya
gangguan bahasa yang disebut afasia, dalam hal ini Broca sendiri menamai
afemia.
c. Gangguan
Berpikir:
·
Pikun
(Demensia): kurangnya berfikir, sehingga ekspresi
verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata-kata yang tepat. Kalimat seringkali diulang-ulang.
·
Sisofrenik:
Para penderita ini dapat mengucapkan word-salad ini dengan lancar, dengan
volume yang cukup, ataupun lemah sekali. Tidak banyak berkomunikasi dengan
dunia luar, tetapi banyak berdialog dengan diri sendiri. Ekspresi verbal
terbatas, tetapi kegiatan dalam dunia bahasa internal (berbahasa dalam pikiran
diri sendiri) sangat ramai.
·
Depresif:
. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan napas dalam, serta pelepasan napas keluar yang panjang.
1. Faktor
Lingkungan Sosial
Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya
seorang anak manusia,
yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia.
Keterasingannya
bisa disebabkan karena diperlakukan
dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan
manusia.
Berbahasa
berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa
diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Oleh sebab itu daerah broca dan
wernecke harus berfungsi dengan baik, karena kerusakan pada daerah tersebut dan
sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut dengan afasia.
1.
Afasia
Motorik, Kerusakan pada belahan otak
yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik bisa terletak pada
lapisan permukaan daerah broca atau pada lapisan di bawah permukaan daerah
broca atau juga di daerah otak antara daerah broca dan daerah wernicke.
2.
Afasia
Motorik Kortikal, Afasia Motorik kortikal
berarti hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan
perkataan. Penderita afasia kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan
bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali, sedangkan
ekspresi visual masih bisa dilaukan.
3.
Afasia
Motorik Subkortikal, Penderita Afasia Motorik
subkortikal adalah orang yang tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan
menggunakan perkataan tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan secara membeo.
Selain itu pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu dan ekspresi
visual pun berjalan normal.
4.
Afasia
Motorik Transkortikal, Para penderita afasia
motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat,
tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya, untuk
mengatakan `pensil` sebagai jawaban atas pertanyaan `Barang yang saya pegang
ini apa namanya? ` dia tidak mampu engeluarkan perkataan itu. Namun, mampu
untuk mengeluarkan parkataan `itu, tu, tu, untuk menulis. ` afasia jenis ini
juga sering disebut dengan afasia nominatif.
5.
Afasia
Sensorik, Penyebab afasia sensorik
ini adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah wernicne pada
hemisferium yang dominan. Kerusakan di daerah ini tidak hanya menyebabkan
pengertian dari apa yang didengarnya terganggu, tetapi pengertian dari apa saja
yang dilihatnya pun ikut terganggu. Namun, ia masih memiliki curah verbal
meskipun hal itu tidak dapat dipahami oleh dirinya sendiri meupun orang lain.
Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru yang tidak dapat dipahami oleh siapa
pun. Curah verbalnya itu terdiri dari katakata, ada yang mirip, ada yang tepat
dengan perkataan suatu bahasa, tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan
perkataan bahasa pun. Neologismenya itu diucapkannya dengan irama,nada, dan
melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar
saja seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia
bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang
diucapkannya maupun apa yang didengarnya keduanya sama sekali tidak dapat
dipahami.
5.
B.
Macam-macam
Gangguan Berfikir
Ekspresi
verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu.
Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran dapat berupa hal-hal berikut.
1.
Pikun
(Demensia), Kepikunan
atau dimensia adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya
pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini
meliputi terganggunya ingatan jangka pendek, kekaliruan mengenali tempat, orang
dan waktu. Juga gangguan kelancaran berbicara. Penyebab pikun ini antara lain
karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah
zat-zat kimia dalam
otak.
2.
Sisofrenik, adalah gangguan
berbahasa akibat gangguan berfikir. Dulu para penderita sisofrenik juga disebut
dengan schizophrenik word salad. Para penderita ini dapat mengucapkan word
salad ini dengan lancar dengan volume yang cukup ataupun lemah sekali. Curah
verbalnya penuh dengan kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya
menghasilkan curah verbal yang melodis. Seorang penderita sisofrenia dapat
berbicara terus-menerus. Ocehannya hanya merupakan ulangan curah verbal semula
dengan tambahan sedikit. Gaya bahasa sisofren dapat dibedakan dalam beberapa
tahap dan menurut berbagai kriteria, yang utama adalah diferensia dalam gaya
bahasa sisofrenia halusinasi dan pascahalusinasi.
3.
Depresif, Orang
yang tertekan jiwanya memproyeksi penderitaanya pada gaya bahasanya dan makna
curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya
terputus-putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus pikiran tidak
terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan nafas dalam, serta
pelepasan nafas keluar yang panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan
depresi itu adalah universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik
yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah
bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung mengakhirinya.
4.
Gangguan
lingkungan sosial,
Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya
seorang anak manusia yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan
kehidupan manusia. Keterasingan
ini dapat disebabkan oleh perlauan dengan sengaja maupun yang tidak sengaja.
Seorang anak terasing menjadi tidak dapat berkomunikasi dengan orang
disekitarnya atau dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara ujaran
manusia. Jadi, anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara tidak
mungkin dapat berbahasa.
4.Karena
dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial masyarakat maka dengan cepat ia
menjadi sama sekali tidak dapat berbahasa. Otaknya menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi
karena tidak ada yang membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka
sebenarnya anak terasing yang tidak punya kontak dengan manusia bukan lagi
manusia sebab pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk badannya adalah manusia tetapi
dia tidak bermartabat sebagai manusia. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya,
tidak dapt berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya menjadi tidak mampu
sebagai manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak sama dengan anak
primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu masyarakat. Meskipun
taraf kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu lingkungan sosial.
Kanak-kanak mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi manusia hanya selama
masa kanak-kanak
selepas umur tujuh tahun anak itu tidak dapat dididik untuk mempelajari
kebudayaan yang lebih tinggi.
Metode komunikasi representatif
Metode ini terkait dengan cara efketif
berkomunikasi dengan penyandang gangguan berbahasa. Hal ini berimplikasi pada
pendidikan bagi anak penyandang gangguan berkomunikasi. Adapun penerapan metode
ini yaitu:
1.
Berkomunikasi
dengan anak, dalam percakapan dengan anak yang sedang belajar bicara perlu di
lakukan sesering dan seakrab mungkin. Berkomunikasilah mengenai beragam hal,
berkomunikasi untuk kontak sosial yang menyenangkan, beri komentar pada anak
dan tunggulah, balaslah komentar anak, seimbangkanlah topik percakapan, jadikan
percakapan sebagai permainan kreatif, ikutilah peraturan percakapan pada umumnya.
2.
Berkoumunikasi
dengan penyandang Asperge’s syndrome dan Autism Spectrum Disoder. Penyandang AS
memiliki keunikan pola persepsi sebagaimana penyandanga ASD, untuk
berkomunikasi dengan mereka di perlukan pemahaman mengenai pola persepsi
mereka. Seperti, berbicara dengan satu
nama-satu objek, perhatika tempo bicara, jelaskan secara rinci dalam berbicara,
butuh banyak kesabaran dan lain sebagainya.
3.
Berkomunikas
dengan penderita Huntington’s Disease, penderita HD mengalami kesulitan
berkomunikasi yang cukup kompleks sehingga di perlukan kesabaran eksta, seperti
berbicara dengan tempo pelan, menguca[kan kata lebih dari satu kali,
menyederhanakan susunan kalimat, memperjelas bunyi dan lain sebagainya.
B. Bina
Wicara
Pelatihan Bina wicara, membahas tentang
latihan afasia pada penderita stroke dan training keterampilan bahasa pada
penyandang SLI, yaitu :
1.
Latihan
afasia pasca stroke, pelatihan pada penderita afasia pasca stroke yaitu perlu memperoleh motivasi untuk melatih
bicaranya, stimulasi yang di berikan akan di sesuaikan dengan program yang di
susun terapis, serta pengulangan atau repertisi perlu di lakukan secara teratur
2.
Training
keterampilan bahasa pada penyandang Spesific Language Impairment, pelatihan
pada penyandang SLI atau lambat bicara memiliki karakteristik khusus, tujuan
terapi wicara adalah training keterampilan, misalya memperbanyak kosa kata dan
melakukan imiasi struktur kalimat.
3.
Program
investasi bahasa pada penyandang Spektrum Autisme, dengan cara melibatkan teman
sejawat sebagai rekan komunikasi, memperhatikan tingkat perkembangan dan gaya
belajar anak, melibatka banyak pihak untuk kemajuan dan keberhasilan komunikasi
anak.
C. Pembenahan
Leksikon
Pembenahan
leksikon terkait dengan usia mental anak, di bawah ini pemabahasan mengenai
pembenahan leksikon khusus penyandang sindrom Down dan lambat bicara.
1.
Pembenahan
leksikon penyandang sindroma Down, pada pembenahan leksikon di dasarkan pada
prinsip, tercipta pola interaksi yang menyenangkan dan efektif, dan anak di
bantu menggunakan kata secara spontan.
2.
Pembenahan
leksikon penyandang spesific language impairment, kepada anak penderita lambat
bicara, di berikan cara bijaksa yaitu dengan di berikan satu bahasa, atau
monolingual, sebab anak-anak ini mengalami keterlambatan bicara dan tengah
belajar mencari salah satu bahasa sebagai bahasa ibu.
D. Penanganan
fase Praverbal
Konsep pengembangan berbahasa dan
berbicara yang di pegang adalah tetap memperhatikan konsep metamorphose
pergeseran dominasi hemisfer kiri dan kanan sehingga muncul proses praverbal sebelum
fase verbal. Perkembangan fase praverbal biasanya di atur oleh belahan otak
kanan, yang berarti bahwa bentuk perkembangan bahasa dan bicara merupakan
bentuk visual-global serta pencanderaan multisensori. Dalam menangani,
keterlambatan bicara, beberapa faktor yang mempengaruhi fase praverbal, yaitu:
1.
Faktor
relasi emosi, yag di katakan sebagai faktor penunjang perkembangan karena agar
anak dapat mengembangkan dirinya sendiri.
2.
Faktor
motorik, mempunyao arti dalam pengembangan bahasa dan bicara, sebab berbicara
adalah gerakan motoik dan gerakan akan menstimulais bicara
3.
Faktor
imitasi, pada dasarnya perkembangan bahasa dan bicara anak di dasari pada
faktor imitasi dari apa yang di ucapkan dan di bicarakan oleh orang-orang di
sekitarnya
4.
Faktor
permainan, sebagai alat bantu akan lebih mudah terjadinya spontanitas anak
untuk melakukan interaksi.
Pada vase awal
verbal, metode yang di sarankan adalah metode Tan-Soderbergh yang prinsipnya
memanfaatkan perkembagan yang dominan pada anak-anak yang mengalami lambat
bicara. Pada prinsipnya mentode ini mengajarkan berbicara dan berbahasa dengan
menggunakan berbagai kata-kata yang menarik perhatian anak.
Beberapa terapi
menunjang proses gangguan berbahasa dan bicara, salah satunya yaitu Ergotherapy
yang mana merupakan terapi gerak dan sensoris yang lebih di tujukan untuk
melatih jika anak mempunyai masalh dalam pengucapan, yang di sebabkan karena
gangguan motorik dasar, indera, terlalu sensitive serta gangguan fisik lainnya.
Ada juga Auditory Integration Training (AIT) yang merupakan terapi penunjang
dengan melalui piranti musik.
DAFTAR PUSTAKA
Dardowidjojo,
Soenjono. 2005. Psikolinguistik : Memahami Asas Pemerolehan Bahasa. Jakarte.
PTS Academia.
Sudarwati,
Emy, Widya Caterine Perdhani dan Nia Budiana. 2017. Pengantar Psikolinguisti.
Malang. Tim UB Press.
Harras,
A. Kholid dan Andika Dutha Bachari. 2009. Dasar-dasar Psikolinguistik. Jakarta.
UPI PRESS.
Abdullah,
Alek dan Achmad HP. 2012. Linguistik Umum. Jakarta. Erlangga.
Unsiah,
Frida dan Ria Yuliati. 2018. Pengantar Ilmu Linguistik. Malang. Tim UB Press.
Jurnal
Pengantar Lingusitik UIN Sunan Ampel Surabaya, oleh Muhammad Thoriqussu’ud.